Demi Allah, Aku Mencintaimu!

Oleh : R. Fathoni.


Dari gesture-nya aku tahu pasti: dia ingin menyampaikan sesuatu.

Ada apa tho? Mbok terus terang saja, jangan ditahan, nanti malah bikin stres lho!” Aku memecah keheningan suasana malam itu.

Tapi Mas jangan marah lho ya!” pinta istriku dengan serius.

Astaghfirullahal adziim… Belum-belum kok sudah su’udhon sama suami gitu… “

Aku mau cerita kalau Mas janji nggak marah… “ masih serius dia memohon, menambah penasaranku akan apa yang akan dia sampaikan.

Baiklah, insya Allah aku tidak akan marah.”

Sebenarnya Mas ini sayang sama Dik Rani nggak sih, Mas?” Prolognya mengejutkanku.

Dan klasik sekali, tipikal laki laki di negeri ini, aku menjawab dengan:

Mengapa kau bertanya begitu?”

Tuh, kan! Mas marah, kan... ”

Tetapi mengapa kau bertanya begitu? Mengapa?!” Egoku sebagai laki laki meninggi.

Kalau Mas marah gitu aku nggak jadi cerita...” Dengan sedikit menggeser badannya dari tempat ia duduk, dan dengan mimiknya yang seolah tanpa dosa itu, ia seakan hafal bagaimana menaklukkanku.

Baiklah... Mengapa kau bertanya begitu?” Aku tetap tidak menjawab pertanyaannya.

Entah mengapa, laki laki di negeri kami amat jarang mengungkapkan kata-kata cinta bahkan kepada istrinya sekalipun. Bahkan ketika ditanya dengan pertanyaan segamblang itupun, terasa kelu lidah ini untuk sekedar menjawab, ”Aku sayang padamu, Dik...”

Bagi kami, para laki-laki, cinta tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata. Cinta adalah memberikan kepada orang orang yang kami cintai apa yang mereka butuhkan. Cinta adalah bekerja keras membanting tulang mencari nafkah untuk diberikan kepada anak, istri dan orang tercinta kami. Cinta itu demikian kuat, demikian dalam, demikian terang memancar dari dalam hati kami hingga kami sangat yakin bahwa rasa cinta itu sanggup menembus hati istri-istri kami meskipun tidak pernah kami ucapkan. Kuatnya keyakinan itu membuat kami memaksa istri-istri kami memahami hal itu: Jangan pernah kalian tanyakan cinta kami, sebab cinta kami adalah cinta murni, bukan cinta basa basi dengan penuh kata kata puisi. Cinta kami adalah dengan memberi bukti, bukan obral janji. Maka ketika cinta ditanyakan, bahkan ketika belum dipertanyakan, bagi kami terdengar sebagai sebuah vonis: engkau belum bisa memberikan yang terbaik untukku!

Itulah kami, para lelaki. Pertanyaan sederhana yang hanya membutuhkan jawaban sederhana: ya atau tidak, menjadi sebuah pertanyaan kompleks yang kental dengan beratus prejudice: Mas tidak cinta kepadaku karena nafkah yang mas berikan sedikit; atau: Mas tidak cinta kepadaku karena banyak permintaanku yang belum Mas penuhi; atau Mas tidak cinta kepadaku karena aku lihat akhir akhir ini sering pulang terlambat... dst.

Mas harus jawab dulu pertanyaan dik Rani, sebenarnya Mas sayang nggak sama dik Rani?” Mimiknya mulai serius.

Penasaran dengan background pertanyaan itu, aku melunak: Baiklah, dik! Mas Anto sayang banget sama dik Rani.

Bener?! Betul!

Terima kasih, mas Anto! Sekilas kulihat rona merah di pipi istri tercintaku.

Suasana menjadi agak hening. Aku menjadi kikuk. Belum pernah aku alami fragmen itu sepanjang pernikahan kami yang sudah menghasilkan dua anak ini. Kayak di sinetron saja, pikirku. Aku termasuk orang yang berpendapat kisah-kisah dalam sinetron adalah kisah di dunia lain. Dunia nyata harus berbeda dengan dunia sinetron.

Sekarang gantian mas Anto yang tanya. Mengapa Dik Rani bertanya seperti itu?” Aku memecah keheningan sesaat itu ”Dik Rani bersedia menjawab asalkan Mas Anto janji dulu.”

Janji apa?”

Janji nggak marah setelah mendengar jawaban dik Rani.”

Jiwa kelelakianku kembali terusik. Pasti jawabannya tidak menyenangkan dan pasti mengundang kemarahanku.

Tetapi kali ini, karena rasa penasaranku yang semakin menjadi – jadi, aku bisa mengontrol diri, dan menjawab: ”Mas Anto janji nggak akan marah.”.

Tentu saja kata kata itu hanya untuk mempercepat aku memperoleh jawaban dari istriku, mengapa ia bertanya seperti itu.

Mas, Dik Rani sudah tidak tahan lagi untuk tidak mengungkapkan hal ini...”

Prolognya mengakselerasi degup jantungku.

Dalam sebulan ini Dik Rani beberapa kali bermimpi. Dan dalam dua minggu terakhir ini mimpi itu semakin sering hadir dalam tidur Dik Rani. Dalam mimpi – mimpi itu dik Rani bertemu dengan teman teman laki – laki sekelas dik Rani waktu SD, SMP dan SMA. Orangnya lain – lain, tetapi mimpinya sama, Mas...! ”

Rani berhenti bercerita. Matanya mulai berkaca – kaca. Kalimatnya menjadi bergetar di akhir kalimat.

Setelah menyeka air matanya yang mulai mengalir, ia melanjutkan ceritanya.

Dalam mimpi-mimpi itu selalu saja teman-teman Dik Rani bilang...”

Ia berhenti lagi. Air matanya semakin deras

Mereka bilang, aku sayang sama kamu, Rani!....”. Tangisnya pun pecah mengiringi kalimat terakhirnya itu.

Bagai disambar petir kepala ini. Seluruh darahku terasa naik ke kepala.

Aku marah bukan kepalang. Aku cemburu. Dan sejurus kemudian, aku menghakimi: Dasar istri tak tahu diuntung! Punya suami baik – baik kayak gini kok malah membayangkan laki – laki lain.

Bagaimana tidak? Darimana datangnya mimpi-mimpi itu kalau tidak dari angan angan yang kuat?

Seakan tahu pasti bakal reaksiku, si Rani istriku segera membela diri.

Tapi, Mas! Demi Allah! Dik Rani tidak pernah mengingat ingat mereka, apalagi membayangkan mereka! Sungguh, Mas! Demi Allah!”

Aku tetap diam menahan marah.

Lihatlah, Mas! Kalau memang dik Rani membayangkan mereka, tidak mungkin dik Rani bilang ke Mas Anto seperti ini!”

Kalimat terakhir ini sedikit memancing logikaku bekerja,setelah beberapa saat mati total karena seluruh energiku terkuras ke emosiku. Tetapi kemarahanku sudah terlanjur mencapai puncaknya. Kemarahan memang membuat logika tidak bisa bekerja. Untungnya aku segera tersadar. Teringat perintah Rasulullah SAW, aku segera mengambil wudhu. Kemarahanku sedikit mereda. Tapi belum benar – benar padam. Seperti biasa, jika marah aku terdiam dan tidak mau melihat wajah istriku. Meskipun masih satu ranjang, malam itu kami tidur saling menghadapkan punggung; posisi tidur yang diccela oleh Rasulullah SAW.

Malam itu barangkali adalah malam terburuk sepanjang sejarah pernikahanku dengan Rani, adik angkatan di bangku kuliahku. Seperti layaknya pernikahan para aktifis masjid di kampus, kami diperkenalkan, dan dijodohkan oleh ustadz kami.

Pernikahan kami adalah pernikahan gaya baru untukukuran masyarakat kami. Kami tidak melewati masa masa pacaran. Begitu diperkenalkan, kemudian ada chemistry di antara kami, tahapan selanjutnya adalah langsung ke jenjang pernikahan. Pesta pernikahan kami pun sederhana. Maklum, kami menikah sebelum kuliah kami selesai. Kami tidak ingin membebani orang tua kami dengan biaya pernikahan yang sangat tinggi, sementara kami belum mandiri secara finansial.

Hari demi hari, bulan demi bulan kami menjalani kehidupan rumah tangga kami. Dua anak pun sudah dikaruniakan kepada kami. Sebelum lulus kuliah, aku bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar terkemuka. Di samping itu aku juga melayani les privat untuk tetangga rumah kontrakanku.

Setelah lulus aku bekerja pada sebuah perusahaan engineering consultant. Sementara itu Rani sibuk dengan dua jagoan kami yang memang masih membutuhkan ibunya full – time; Rani tidak bekerja. Saya yakin model keluarga kami adalah tipikal keluarga aktifis dakwah kampus.

Hingga kejadian malam itu, aku merasa Allah telah menjadikan keluarga kami menjadi tauladan bagi pasangan muda di komunitas kami. Setidaknya itulah yang pernah kudengar dari beberapa temanku. Aku merasa menjadi laki laki paling bahagia di muka bumi. Kami tampak selalu rukun, tampak harmonis, dan bisa dibilang tidak ada pesoalan rumah tangga yang serius di keluarga kami. Tidak ada persoalan finansial, komunikasi antar pasangan, atau persoalan tidak segera mendapat momongan; tiga persoalan utama yang sering kami temui di keluarga teman-teman kami. Tetapi pengakuan Rani malam itu sungguh membuat aku merasa hancur. Kebahagian yang selama ini aku banggakan ternyata hanyalah kebahagiaan semu. Akumerasa gagal. Keharmonisan keluarga kami yang dilihat orang ternyata nol besar. Aku merasa sedih, karena ternyata aku gagal melihat kenyataan bahkan ketika kenyataan itu adalah kehidupanku sendiri.

Ustadz, bisa minta waktu sebentar, saya ada persoalan yang ingin saya diskusikan dengan ustadz.”

Persoalan apa?”

Masalah rumah tangga, ustadz!”

Mau nikah lagi?”

Ah, enggak ustadz! Saya sedang ada persoalan dengan Rani.”

Baik, nanti malam ba’da ’isya’ insya Allah saya ada di rumah.”

Jazaakallahu khairan, Ustadz!”

Amiin, walakum.”

Ustadz Rahmat adalah salah satu ustadz kami. Di kalangan aktifis, beliau terkenal sebagai ustadz spesialisasi rumah tangga. Beliau menjadi perantara pernikahan hampir semua aktifis. Beliau juga biasa menjadi rujukan teman – teman ketika mendapat persoalan dalam kehidupan rumah tangga. Pagi itu, setelah acara ta’lim pagi yang biasa diselenggarakan di masjid kampus, saya membuat perjanjian dengan beliau untuk mengkonsultasikan premasalahan yang sedang saya hadapi.

He he he.... . Anto..., Anto.!” Ustadz Rahmat tersenyum setelah mendengar penuturanku tentang mimpi-mimpi Rani; termasuk juga kecemburuanku dan perasaan kegagalanku.

Aku tidak mengira, ternyata kau dan Rani yang selama ini tampak harmonis ternyata punya masalah juga. Sebenarnya ini masalah klasik, dan sederhana sekali. Bahkan sudah sering menjadi tema dalam kajian – kajian. Jadi... sekali lagi saya terkejut juga mendengar penuturanmu.”

Aku terdiam. Aku mencoba mengingat ingat materi kajian yang pernah kuikuti. Tetapi aku tidak mendapatkan satupun yang relevan dengan kasusku.

Coba ambil kitab riyadhus-shalihin di rak buku itu!” ustadz Rahmat memintaku mengambil kitab riyadhus shalihin terjemahan bersampul biru di rak buku di belakangku. Tidak sulit aku mendapatkannya. Riyadhus shalihin adalah kitab kumpulan hadits yang biasa kami telaah, baik di pengajian-pengajian rutin maupun bacaan kedua di rumah tangga setelah AlQur’an.

Bab berapa ustadz?” Seperti biasa, kamilah yang beliau minta membuka dan membaca sendiri ayat atau hadits yang ada di dalam sebuah kitab, ketika beliau ingin mengajari kami sesuatu.

Coba buka bab keutamaan cinta karena Allah, di jilid I. Kira kira halaman 300-an. Sedemikian seringnya kitab itu dijadikan rujukan, ustadz Rahmat hafal betul letak halamannya.”

Dan, terbukalah halaman 317, tertulis judul: Pasal: Keutamaan cinta karena Allah, dan menganjurkan serta memberitahu kepada Allah, dan orang yang dicinta karena Allah, dan jawaban orang yang diberitahu.

Sudah ketemu?”

Sudah, Ustadz!”

Coba kamu baca hadits terakhir dari Pasal itu!”

Baik, Ustadz!”

Aku balik lembar demi lembar, dan sampailah mataku tertuju hadits nomor 11, hadits terkahir dari Pasal keutamaan cinta karena Allah.

Anas r.a. berkata: Ada seseorang duduk di sisi Nabi SAW, tiba tiba lewatlah seorang laki – laki, dan berkatalah orang yang duduk di sisi Nabi SAW tersebut: ”Wahai Rasulullah, sungguh saya sangat menyayangi orang itu.” Nabi SAW bertanya, Apakah sudah kauberitahu padanya, bahwa kau cinta kasih kepadanya?” Jawabnya: ”Belum.”. Lantas bersabda Nabi SAW: ”Beritahulah ia!”. Maka dikejarnya orang itu dan berkatalah ia kepadanya, ”Sungguh, demi Allah, Aku sayang cinta kepadamu!”. Maka orang itu menjawab, ”Semoga Allah menyayangi dan mencintaimu, sebagaimana kau mencintaiku karena Dia.” (HR. Abu Dawud).

Aku terdiam setelah membaca hadits itu. Aku tertegun, seakan akan hadits itu baru saja aku baca. Padahal, secara logika, seharusnya hadits itu seharusnya sudah aku baca dan aku pelajari, sebab sudah dua kali aku mengkhatamkan riyadhus shalihin. Tak terasa, air mata meleleh membasahi pipiku.

Anto,...” Ustadz Rahmat memecahkan keheningan sesaat itu.

Berapa kali kau sampaikan kepada istrimu bahwa kau mencintainya karena Allah?”

Aku terdiam. Sejurus kemudian aku menjawab, ”Belum pernah, Ustadz!”

Anto, ketahuilah, wahai saudaraku; manusia tidak bisa membaca kata hati manusia yang lain. Tidak pula dengan malaikat. Hanya Allah dan kitalah yang tahu isi hati kita masing – masing. Karena itulah, Rasulullah mengajarkan kepada kita, kalau kita mencintai seseorang karena Allah, maka sampaikan kepadanya bahwa kita mencintainya. Apalagi dengan istri-istri kita.”

Tetapi, ustadz, tidak cukupkah perbuatan dan kebaikan saya kepada istri saya selama ini menjadi bukti cinta saya kepadanya?”

He he he... . Seharusnya sudah cukup. Paling tidak menurut pikiranmu. Tetapi tidak menurut Rasulullah SAW, sebagaimana hadits yang barusan kaubaca. Ingatlah, wahai Anto, Allah menciptakan manusia berbeda – beda. Jangan kau samaratakan semua orang. Jangan kau anggap semua manusia memiliki nalar dan perasaan seperti yang kau punya. Apalagi wanita, Anto!

Mereka adalah makhluk Allah yang penuh misteri. Bahkan Allah swt sampai membuat surat An-Nisa’ di dalam AlQur’an, seakan mengingatkan kepada kita untuk berhati –hati bergaul dengan mereka.

Wanita itu, wahai Anto, diciptakan Allah dengan sifat sifat kelembutan dan kasih sayang. Perasaan mereka lebih lembut dan lebih sensitif dibandingkan kita para lelaki. Mereka butuh kasih sayang, dan ungkapan kasih sayang dengan kata kata adalah salah satu kebutuhan dasar mereka. Sesungguhnya kita para lelakipun memiliki kebutuhan dasar itu, namun tidak sekuat kebutuhan para wanita.

Tahukah kau apa yang terjadi pada Rani istrimu? Hatinya gersang akan ungkapan kasih sayang. Ibarat tanah di musim kemarau yang merindukan datangnya hujan, hati rani sudah bertahun tahun tidak pernah disiram dengan kata kata kasih sayang. Seharusnya kau yang menyiram hatinya dengan untaian kata kasih sayang. Namun karena kau egois dan menganggap bahwa kau tidak perlu mengungkapkan perasaanmu, maka orang lainlah yang menyirami hati Rani yang gersang itu. Saya yakin, Rani benar dengan pengakuannya bahwa ia tidak membayangkan kawan – kawan masa lalunya. Mimpi – mimpi itu muncul dari alam bawah sadar Rani yang sudah sedemikian kering dan haus akan siraman ungkapan kasih sayang.”

Aku merasa amat bodoh di hadapan ustadz Rahmat. Aku tidak bisa berkata apa–apa.

Sekarang, pulanglah, mintalah maaf kepada istrimu, dan sampaikan padanya, bahwa demi Allah, kau mencintainya. Insya Allah mimpi – mimpi itu tak kan pernah datang lagi dalam tidur Rani.”

Sejenak kemudian aku mohon pamit dan mengucapkan banyak terima kasih kepada Ustadz Rahmat. Dan, seperti biasa, ustadz Rahmat melepas kepergianku hingga pintu gerbang pagar rumah beliau, dan selalu dengan senyum khas beliau itu: senyum khas seorang Ustadz Rahmat.

Malam itu barangkali akan menjadi malam terindahku dengan istriku. Sulit kulukiskan dengan kata – kata, bagaimana malam itu, untuk pertama kalinya setelah hampir lima tahun menikah dengannya, aku ucapkan, ”Demi Allah, Aku mencintaimu, Rani!” Bagaimana reaksi Rani, bagaimana syahdunya suasana malam itu biarlah menjadi kenangan kami sendiri. Aku tidak kuasa melukiskannya dengan kata–kata, sebab kalimat apapun yang kupilih, tidak bisa menggambarkan indahnya suasana malam itu.

Dan Alhamdulillah, setelah malam itu, Rani tidak lagi dihampiri teman-teman lamanya dalam tidurnya.

Abadikanlah cinta kami dalam ridhaMu, ya Allah!

Nilagraha, Mei 2008

25 REASONS I love MY MOTHER

1. My mother taught me TO APPRECIATE A JOB WELL DONE .
'If you're going to kill each other, do it outside. I just finished cleaning

2. My mother taught me RELIGION.
'You better pray that will come out of the carpet.'

3. My mother taught me about TIME TRAVEL .
'If you don't straighten up,
I'm going to knock you into the middle of next week!'

4. My mother taught me LOGIC.
' Because I said so, that's why.'

5. My mother taught me MORE LOGIC .
'If you fall out of that swing and break your neck,
you're not going to the store with me.'

6. My mother taught me FORESIGHT.
'Make sure you wear clean underwear, in case you're in an accident.'

7. My mother taught me IRONY
'Keep crying, and I'll give you something to cry about.'

8. My mother taught me about the science of OSMOSIS.
'Shut your mouth and eat your supper.'

9. My mother taught me about CONTORTIONISM .
'Will you look at that dirt on the back of your neck?'

10. My mother taught me about STAMINA.
'You'll sit there until all that spinach is gone.'

11. My mother taught me about WEATHER.
'This room of yours looks as if a tornado went through it.'

12. My mother taught me about HYPOCRISY.
'If I told you once, I've told you a million times. Don't exaggerate!'

13. My mother taught me the CIRCLE OF LIFE .
'I brought you into this world, and I can take you out.'

14. My mother taught me about BEHAVIOR MODIFICATION.
'Stop acting like your father!'

15. My mother taught me about ENVY.
'There are millions of less fortunate children in this world
who don't have wonderful parents like you do.'

16. My mother taught me about ANTICIPATION.
'Just wait until we get home.'

17. My mother taught me about RECEIVING .
'You are going to get it when you get home!'

18. My mother taught me MEDICAL SCIENCE.
'If you don't stop crossing your eyes, they are going to freeze that way.'

19. My mother taught me ESP.
'Put your sweater on; don't you think I know when you are cold?'

20. My mother taught me HUMOR.
'When that lawn mower cuts off your foot, don't come running to me.'

21. My mother taught me HOW TO BECOME AN ADULT .
'If you don't eat your vegetables, you'll never grow up.'

22. My mother taught me GENETICS.
'You're just like your father.'

23. My mother taught me about my ROOTS.
'Shut that door behind you. Do you think you were born in a barn?'

24. My mother taught me WISDOM.
'When you get to be my age, you'll understand.'

25. And my favorite: My mother taught me about JUSTICE
'One day you'll have kids, and I hope they turn out just like you.'

beberapa tips dari mario teguh...

Jika anda sedang benar, jangan terlalu berani dan
bila anda sedang takut, jangan terlalu takut.
Karena keseimbangan sikap adalah penentu
ketepatan perjalanan kesuksesan anda

Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita
adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba
itulah kita menemukan dan belajar membangun
kesempatan untuk berhasil

Anda hanya dekat dengan mereka yang anda
sukai. Dan seringkali anda menghindari orang
yang tidak tidak anda sukai, padahal dari dialah
Anda akan mengenal sudut pandang yang baru

Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi
pemilik masa lalu. Orang-orang yang masih terus
belajar, akan menjadi pemilik masa depan

Tinggalkanlah kesenangan yang menghalangi
pencapaian kecemerlangan hidup yang di
idamkan. Dan berhati-hatilah, karena beberapa
kesenangan adalah cara gembira menuju
kegagalan

Jangan menolak perubahan hanya karena anda
takut kehilangan yang telah dimiliki, karena
dengannya anda merendahkan nilai yang bisa
anda capai melalui perubahan itu

Anda tidak akan berhasil menjadi pribadi baru bila
anda berkeras untuk mempertahankan cara-cara
lama anda. Anda akan disebut baru, hanya bila
cara-cara anda baru

Ketepatan sikap adalah dasar semua ketepatan.
Tidak ada penghalang keberhasilan bila sikap
anda tepat, dan tidak ada yang bisa menolong
bila sikap anda salah

Orang lanjut usia yang berorientasi pada
kesempatan adalah orang muda yang tidak
pernah menua ; tetapi pemuda yang berorientasi
pada keamanan, telah menua sejak muda

Hanya orang takut yang bisa berani, karena
keberanian adalah melakukan sesuatu yang
ditakutinya. Maka, bila merasa takut, anda akan
punya kesempatan untuk bersikap berani

Kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan
stress adalah kemampuan memilih pikiran yang
tepat. Anda akan menjadi lebih damai bila yang
anda pikirkan adalah jalan keluar masalah.

Jangan pernah merobohkan pagar tanpa mengetahui
mengapa didirikan. Jangan pernah mengabaikan
tuntunan kebaikan tanpa mengetahui keburukan
yang kemudian anda dapat

Seseorang yang menolak memperbarui cara-cara
kerjanya yang tidak lagi menghasilkan, berlaku
seperti orang yang terus memeras jerami untuk
mendapatkan santan

Bila anda belum menemkan pekerjaan yang sesuai
dengan bakat anda, bakatilah apapun pekerjaan
anda sekarang. Anda akan tampil secemerlang
yang berbakat

Kita lebih menghormati orang miskin yang berani
daripada orang kaya yang penakut. Karena
sebetulnya telah jelas perbedaan kualitas masa
depan yang akan mereka capai

Berapa Usia Aisha Ketika Dinikahi oleh Rasulullah?

Seorang teman kristen suatu kali bertanya kepada saya, "Akankah anda menikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?" Saya
terdiam.Dia melanjutkan, "Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa
anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi
anda?" Saya katakan padanya, "Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan anda
pada saat ini." Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan guncangan
dalam batin saya akan agama saya.

Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima masyarakat
pada saat itu. Jika tidak, orang-orang akan merasa keberatan dengan
pernikahan Nabi saw dengan Aisyah.

Bagaimanapun, penjelasan seperti ini akan mudah menipu bagi orang-orang yang
naif dalam mempercayainya. Tetapi, saya tidak cukup puas dengan penjelasan
seperti itu.

Nabi merupakan manusia tauladan, Semua tindakannya paling patut dicontoh
sehingga kita, Muslim dapat meneladaninya. Bagaimaanpun, kebanyakan orang di
Islamic Center of Toledo, termasuk saya, Tidak akan berpikir untuk
menunangkan saudara perempuan kita yang berumur 7 tahun dengan seorang
laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti
itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah
terhadap orang tua dan suami tua tersebut.

Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak
pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur di
bawah 18 tahun, dan calon isteri dibawah 16 tahun. Tahun 1931, Sidang dalam
oraganisasi- oraganisi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon
pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas (Women in Muslim Family Law,
John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang
mayoritas Muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima.

Jadi, Saya percaya, tanpa bukti yang solidpun selain perhormatan saya
terhadap Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis brumur 7 tahun dengan Nabi
berumur 50 tahun adalah mitos semata. Bagaimanapun perjalanan panjang saya
dalam menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi saya benar
adanya.

Nabi memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos
berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam
literatur hadist. Lebih jauh, Saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal
ini sangatlah tidak bisa dipercaya.

Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah pada
saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tersebut sangat bermasalah.
Saya akan menyajikan beberapa bukti melawan khayalan yang diceritakan Hisham
ibnu `Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi dari sebutan seorang tua yang
tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun.

Bukti #1: Pengujian Terhadap Sumber

Sebagian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadist
yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas
otoritas dari bapaknya, yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus
mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak
ada seorangpun yang di Medinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai
usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak
murid-murid di Medinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak
menceritakan hal ini. Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, di
mana Hisham tinggal disana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia tua.

Tehzibu'l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan
para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : "Hisham sangat
bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia
ceritakan setelah pindah ke Iraq " (Tehzi'bu'l- tehzi'b, Ibn Hajar
Al-`asqala'ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).

Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham
yang dicatat dari orang-orang Iraq: " Saya pernah diberi tahu bahwa Malik
menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq" (Tehzi'b
u'l-tehzi'b, IbnHajar Al- `asqala'ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11,
p. 50).

Mizanu'l-ai` tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada
periwayat hadist Nabi saw mencatat: "Ketika masa tua, ingatan Hisham
mengalami kemunduran yang mencolok" (Mizanu'l-ai` tidal, Al-Zahbi,
Al-Maktabatu' l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).

KESIMPULAN:
berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah buruk dan riwayatnya
setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya
mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak
kredibel.

KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam
sejarah Islam:

Pra-610 M: Jahiliyah (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama Abu Bakr menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah
622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Medina
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah

Bukti #2: Meminang

Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad),
Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9
tahun.

Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: "Semua anak Abu Bakr (4 orang)
dilahirkan pada masa jahiliyahh dari 2 isterinya " (Tarikhu'l-umam
wa'l-mamlu'k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara'l-fikr,
Beirut, 1979).

Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun
623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada
613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan
pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa Jahiliyahh usai (610 M).

Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat Jahiliyah. Jika
Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14
tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam
periwayatannya.

KESIMPULAN: Al-Tabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.

Bukti # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah

Menurut Ibn Hajar, "Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika
Nabi saw berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah"
(Al-isabah fi tamyizi'l-sahabah, Ibn Hajar al- Asqalani, Vol. 4, p. 377,
Maktabatu'l- Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978) .

Jika Statement Ibn Hajar adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan ketika
Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52
tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.

KESIMPULAN: Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu
sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun
adalah mitos tak berdasar.

Bukti #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma'

Menurut Abda'l-Rahman ibn abi zanna'd: "Asma lebih tua 10 tahun dibanding
Aisyah (Siyar A`la'ma'l-nubala' , Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic,
Mu'assasatu' l-risalah, Beirut, 1992).

Menurut Ibn Kathir: "Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]"
(Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi,
Al-jizah, 1933).

Menurut Ibn Kathir: "Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5
hari kemudian Asma meninggal. Menurut iwayat lainya, dia meninggal 10 atau
20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari
kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma
Meninggal, dia berusia 100 tahun" (Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol.
8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933)

Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: "Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal
pada 73 or 74 H." (Taqribu'l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani, p. 654, Arabic,
Bab fi'l-nisa', al-harfu'l-alif, Lucknow).

Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah
berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73
H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah 622M).

Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah
tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia
17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah berumah tangga.

Berdasarkan Hajar, Ibn Katir, and Abda'l-Rahman ibn abi zanna'd, usia Aisyah
ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.

Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam
bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia
Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18..?

KESIMPULAN: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.

Bukti #5: Perang BADAR dan UHUD

Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan
dalam hadist Muslim, (Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab karahiyati'l- isti`anah
fi'l-ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting
dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: "ketika kita mencapai
Shajarah". Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota
perjalanan menuju Badar.

Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari
(Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab Ghazwi'l-nisa' wa qitalihinnama` a'lrijal) :
"Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat
Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh,
Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak
dalam perjalanan tsb]."

Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud
dan Badr.

Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu'l-maghazi, Bab Ghazwati'l-khandaq wa
hiya'l-ahza' b): "Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan
dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14
tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi
mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb."

Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan
dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b) Aisyah ikut
dalam perang badar dan Uhud

KESIMPULAN: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan
bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15
tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam
perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban
bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan
Aisyah.

BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan)

Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum
hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat
mengatakan hal ini: "Saya seorang gadis muda(jariyah dalam bahasa arab)"
ketika Surah Al-Qamar diturunkan(Sahih Bukhari, Kitabu'l-tafsir, Bab Qaulihi
Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa'l-sa`atu adha' wa amarr).

Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah(The
Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan
pada tahun 614 M. jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada
usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in
Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara
aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir
ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka
bermain (Lane's Arabic English Lexicon).

Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia
6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah
pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi.

KESIMPULAN: Riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang
berusia 9 tahun.

Bukti #7: Terminologi bahasa Arab

Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama
Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk
menikah lagi, Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran
Khaulah. Khaulah berkata: "Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau
seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)". Ketika Nabi bertanya tentang
identitas gadis tersebut (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.

Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam
bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun.

Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah,
seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. Bikr disisi lain, digunakan untuk
seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman
dengan pernikahan, sebagaimana kita pahami dalam bahasa Inggris "virgin".
Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah "wanita"
(bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath
al-`arabi, Beirut).

Kesimpulan: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah
"wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan." Oleh
karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.

Bukti #8. Text Qur'an

Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu
mencari petunjuk dari Qur'an untuk membersihkan kabut kebingungan yang
diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia
Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan
dari gadis belia berusia 7 tahun?

Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada
sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan
memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur'an mengenai perlakuan anak Yatim juga
valid diaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri.

Ayat tersebut mengatakan : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang
yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian
(dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
(Qs. 4:5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ?? (Qs. 4:6)

Dalam hal seorang anak yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim
diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c)
mendidik mereka, dan (d) menguji mereka thd kedewasaan "sampai usia menikah"
sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.

Disini, ayat Qur'an menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti terhadap
tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif
sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta
kepada mereka.

Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim yang
bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang
gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia
berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, Gadis tersebut secara tidak
memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal
(Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang
berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada
mengambil tugas sebagai isteri.

Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa Abu Bakar,seorang
tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun
dengan Nabi yang berusia 50 tahun.. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa
Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.

Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah
kita memunculkan sebuah pertanyaan," berapa banyak di antara kita yang
percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum
mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?" Jawabannya adalah Nol besar.

Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan
memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mana mungkin
kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun
seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?

Abu Bakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, Jadi
dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang
belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur'an. Abu Bakar tidak akan
menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari
gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau
akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum Quran.

KESIMPULAN: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum
kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karena itu, Cerita pernikahan Aisyah
gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.

Bukti #9: Ijin dalam pernikahan

Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang
dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson,
Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang
wanita merupakan syarat dasar bagi kesyahan sebuah pernikahan.

Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh
gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai
validitas sebuah pernikahan.

Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakr, seorang laki-laki yang cerdas,
akan berpikir dan mananggapi secara keras tentang persetujuan pernikahan
gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun.

Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang
gadis yang menurut hadith dari Muslim, masih suka bermain-main dengan
bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.

KESIMPULAN: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan
tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami tentang klausa
persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan
Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun
fisik.

Summary:
Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang
berusia 9 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah SAW dan
Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernah keberatan
dengan pernikahan seperti ini, karena ini tak pernah terjadi sebagaimana isi
beberapa riwayat.

Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn
`Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi dengan
riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima
riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk
Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah
tidak reliable.

Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi
satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar
periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri.
Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable
karena adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah
Islam.

Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai
usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup
banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut
sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur'an menolak pernikahan gadis dan lelaki
yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung
jawab-tanggung jawab.

Was Ayesha A Six-Year-Old Bride?
The Ancient Myth Exposed
by T.O. Shanavas
http://www.iiie.net/node/58