Berpelukan Mesra Dengan Kesedihan...

Tidak ada kehidupan yang tidak diwarnai oleh kesedihan. Diundang maupun tidak, ia akan senantiasa datang. Dalam banyak kejadian ( baik melalui bencana, ditinggal oleh orang terkasih, kegagalan dsb) bahkan terbukti , semakin ia dibenci dan ditakuti, semakin ia senang dan rajin berkunjung ke diri kita. Maka, sengsaralah hidup mereka yang membenci kesedihan.

Kahlil Gibran pernah menulis cantik tentang hakikat kesenangan dan kesedihan.Menurut penulis sufi ini, kesenangan adalah kesedihan yang terbuka kedoknya.Dan, tawa serta air mata datang dari sumber air yang sama. Lebih dari itu,semakin dalam kesedihan menggoreskan luka ke dalam jiwa, maka semakin mampu sang jiwa menampung kebahagiaan. Bahkan Kahlil Gibran sampai dalam pemahaman yang lebih dalam. Tanpa kesedihan, jiwa yang manapun tidak akan memiliki daya tampung yang
besar terhadap kebahagiaan. Jadi kesedihan dan kebahagiaan adalah dua saudara kembar yang melakukan kegiatannya secara bergantian.

Keserakahan, atau sebaliknya kekhusukan doa manusia manapun, tidak akan bisa membuat dua saudara kembar ini berpisah. Ia seperti dua sayap dari seekor burung. Dibuangnya salah satu sayap, adalah awal dari celakanya ''burung'' kehidupan.

Dalam pengandaian yang lain. Coba perhatikan lambang-lambang tawa dan bahagia. Piala kemenangan sebagai contoh. Bukankah ia melalui proses pembakaran dan pembentukan yang amat menyakitkan ?.
Seruling penghibur telinga sebagai contoh lain. Bukankah ia dibuat dari bamboo yang rela dirinya dipotong-potong ? Anak yang berhasil menjadi kebanggaan orang tua. Bukankah ia telah mengkonsumsi energi kekhawatiran dan kesabaran yang demikian lama dan melelahkan ? Dari semua contoh ini, tawa ternyata semuanya dibangun di atas pundi-pundi air mata ( kesedihan ).

Manusia memang sedang diikat kakinya di tengah-tengah sebuah timbangan. Di sebelah kanan ada kebahagiaan, dan di sebelah kiri ada kesedihan. Semakin keras kaki sebelah kanan disentakkan, semakin besar tarikan timbangan di sebelah kiri. Ini yang terjadi dalam kehidupan banyak orang yang ''serakah'' dengan kebahagiaan. Semua orang - termasuk saya kalau mau jujur - memang ingin berat di sebelah kanan. Sayangnya, ia bertentangan dengan hakekat dasar kesenangan dan kesedihan.

Dalam bahasa Kahlil Gibran, ketika kita bercengkerama dengan kebahagiaan di ruang tamu,kesedihan sedang menunggu di pembaringan. Persoalannya kemudian, punyakah kita cukup keberanian dan kesabaran untuk berpelukan mesra dengan kesedihan ? Nah,inilah sebuah kualitas pribadi yang dimiliki oleh teramat sedikit orang. Untuk menerima kebahagiaan, kita tidak memerlukan terlalu banyak kedewasaan.

Akan tetapi, untuk berpelukan mesra dengan kesedihan, diperlukan kearifan dan kedewasaan yang mengagumkan. Untuk saat ini memang sangat sulit menemukan orang yang sudah sampai pada kualitas kearifan dan kedewasaan terakhir. Namun dari pengalaman beberapa kiai, pastur, pendeta budha sampai guru meditasi telah dapat disimpulan bahwa yang membawa mereka pada kualitas yang mengagumkan ini justru kesedihan.

Dari pengalaman mereka , marilah kita belajar dan saling berdoa agar kesedihan yg ada pada kita menjadi tangga kedewasaan, kearifan dan kedamaian yang amat mengagumkan. Sama mengagumkannya dengan akar pohon. Ia diinjak, tertanam didalam tanah, tidak kelihatan, mencari makan buat pihak lain, namun nasib buah, bunga, daun dan batang bergantung pada ketekunan sang akar. Bukankah kesedihan juga demikian ?

Ada memang orang yang menyebut bahwa kesenangan lebih berharga dari kebahagiaan. Ada juga yang mengatakan bahwa kesedihan lebih mulya dari kebahagiaan. Dan Kahlil Gibran menyimpulkan bahwa keduanya tidak terpisahkan. Semua kesimpulan ini sah-sah saja. Namun yang jelas Tuhan akan meninggikan derajat seseorang melalui cobaan (kesedihan) terlebih dahulu. Bukankah seseorang yg ingin naik kelas, lulus atau naik jabatan melalui test terlebih dahulu ?

Mumpung masih ada waktu dan kesempatan , mari kita coba berbenah kearah yg lebih baik. Semoga kita tidak terlampau larut, membenci dan takut dengan kesedihan dan semoga kita pun dapat "Berpelukan Mesra Dengan Kesedihan."

Sumber : Gede Prama

"Yang Tidak Bisa Diucapkan Ayah"

Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya... Akan sering merasa kangen sekali dengan Mamanya...Lalu bagaimana dengan ayah? Mungkin karena Mama lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari, tapi tahukah kamu, jika ternyata ayah-lah yang mengingatkan Mama untuk menelponmu?

Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, Mama-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng, tapi tahukah kamu, bahwa sepulang ayah bekerja dan dengan wajah lelah ayah selalu menanyakan pada Mama tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?

Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil... ayah biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda. Dan setelah ayah mengganggapmu bisa, ayah akan melepaskan roda bantu di sepedamu... Kemudian Mama bilang : "Jangan dulu ayah, jangan dilepas dulu roda bantunya", Mama takut putri manisnya terjatuh lalu terluka....Tapi sadarkah kamu? Bahwa ayah dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya PASTI BISA.

Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, Mama menatapmu iba. Tetapi ayah akan mengatakan dengan tegas : "Boleh, kita beli nanti, tapi tidak sekarang" Tahukah kamu, ayah melakukan itu karena ayah tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi?

Saat kamu sakit pilek, ayah yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata : "Sudah di bilang! kamu jangan minum air dingin!". Berbeda dengan Mama yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut. Ketahuilah, saat itu ayah benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.

Ketika kamu sudah beranjak remaja... Kamu mulai menuntut pada ayah untuk dapat izin keluar malam, dan ayah bersikap tegas dan mengatakan: "Tidak boleh!". Tahukah kamu, bahwa ayah melakukan itu untuk menjagamu? Karena bagi ayah, kamu adalah sesuatu yang sangat - sangat luar biasa berharga... Setelah itu kamu marah pada ayah, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu... Dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah Mama... Tahukah kamu, bahwa saat itu ayah memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya, Bahwa ayah sangat ingin mengikuti keinginanmu, Tapi lagi-lagi dia HARUS menjagamu?

Ketika saat seorang cowok mulai sering menelponmu, atau bahkan datang ke rumah untuk menemuimu, ayah akan memasang wajah paling cool sedunia... ayah sesekali menguping atau mengintip saat kamu sedang ngobrol berdua di ruang tamu.. Sadarkah kamu, kalau hati ayah merasa cemburu?

Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan ayah melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya. Maka yang dilakukan ayah adalah duduk di ruang tamu, dan menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir...Dan setelah perasaan khawatir itu berlarut - larut... Ketika melihat putri kecilnya pulang larut malam hati ayah akan mengeras dan ayah memarahimu... Sadarkah kamu, bahwa ini karena hal yang di sangat ditakuti ayah akan segera datang? "Bahwa putri kecilnya akan segera pergi meninggalkan ayah"

Setelah lulus SMA, ayah akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang Dokter atau Insinyur. Ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan ayah itu semata – mata hanya karena memikirkan masa depanmu nanti... Tapi toh ayah tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan ayah

Ketika kamu menjadi gadis dewasa.... Dan kamu harus pergi kuliah dikota lain... ayah harus melepasmu di bandara. Tahukah kamu bahwa badan ayah terasa kaku untuk memelukmu? ayah hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini - itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati..Padahal ayah ingin sekali menangis seperti Mama dan memelukmu erat-erat. Yang ayah lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata "Jaga dirimu baik-baik ya sayang". ayah melakukan itu semua agar kamu KUAT....kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.

Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah ayah. ayah pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain.

Ketika permintaanmu bukan lagi sekedar meminta boneka baru, dan ayah tahu ia tidak bisa memberikan yang kamu inginkan...Kata-kata yang keluar dari mulut ayah adalah : "Tidak.... Tidak bisa!" Padahal dalam batin ayah, Ia sangat ingin mengatakan "Iya sayang, nanti ayah belikan untukmu". Tahukah kamu bahwa pada saat itu ayah merasa gagal membuat anaknya tersenyum?

Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana. ayah adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu. ayah akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat "putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang"

Sampai saat seorang teman Lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada ayah untuk mengambilmu darinya. ayah akan sangat berhati-hati memberikan izin.. Karena ayah tahu..... Bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.

Dan akhirnya.... Saat ayah melihatmu duduk di Panggung Pelaminan bersama seseorang Lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, ayah pun tersenyum bahagia.... Apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu ayah pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis? ayah menangis karena ayah sangat berbahagia, kemudian ayah berdoa.... Dalam lirih doanya kepada Tuhan, ayah berkata: "Ya Tuhan tugasku telah selesai dengan baik.... Putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita yang cantik.... Bahagiakanlah ia bersama suaminya..."

Setelah itu ayah hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk... Dengan rambut yang telah dan semakin memutih.... Dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya.... ayah telah menyelesaikan tugasnya....

Ayah, Papa, Bapak, atau Abah kita... Adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat... Bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis... Dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu.. Dan dia adalah yang orang pertama yang selalu yakin bahwa "KAMU BISA" dalam segala hal...

PUISI NEGERI PARA BEDEBAH




oleh: Adhie M Massardi

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah

Lautnya pernah dibelah tongkat Musa

Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah

Dari langit burung-burung kondor

menjatuhkan bebatuan menyala-nyala



Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?

Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah

Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah

Atau menjadi kuli di negeri orang

Yang upahnya serapah dan bogem mentah



Di negeri para bedebah

Orang baik dan bersih dianggap salah

Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan

Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah

Karena hanya penguasa yang boleh marah

Sedangkan rakyatnya hanya bisa pasrah



Maka bila negerimu dikuasai para bedebah

Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah

Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum

Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya



Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah

Usirlah mereka dengan revolusi

Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi

Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi

Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan !

Sibling Rivalry

Toddler Behavior Problem-Solver: Sibling Rivalry


When you go from one child to two (or more!), it's a whole new ball game for everyone involved. Here's how to set your children up for sibling success.


What it is: One minute, they're happily hanging out together, the next they're at each other's throats. In the blink of an eye, family fun erupts into a sibling slugfest.

Why it happens: Whenever you have two or more kids, there's a chance for sibling rivalry. That's because your children are subconsciously competing for the same big prize — your love and attention.

What you need to know: There's no way to totally eliminate sibling rivalry, which is fortunate because it has positive benefits as well. For one thing, sibs learn how to resolve conflicts and practice social skills (like sharing the ketchup and taking turns on the computer) at an early age. In the meantime, there are things you can do to minimize hostilities and set the foundation for a lifetime of brotherly (or sisterly…or brotherly-sisterly) love.

What to do about it:

  • Show your love and appreciation for each child and his or her unique qualities. That means never comparing siblings to each other (positively or negatively), spending time alone with each child (maybe each gets a private afternoon with Mom once every couple of weeks), and, of course, avoiding any hint of favoritism.

  • Give each child space. Sure, they should spend time together, but siblings need time to be alone, alone with you, and alone with their own friends as well.

  • Don't expect the eldest to "know better." Constantly telling your older child to give in or share her toys will only increase her resentment. Instead, prevent skirmishes over possessions by helping your older child put her special stuff out of the younger one's reach and teaching a younger sib to ask permission to play with big sister's belongings. (Be patient with this one — it'll definitely take some time for these lessons to sink in.)

  • Listen without judging. When your child makes angry remarks about her sibling, let her vent. (So don't say, "You don't mean that!" At the moment, she probably does.) The point is to not make her feel guilty for emotions that are totally natural.

  • Don't step in right away when arguments erupt. Watch and wait to see if they work it out themselves.

  • Do, however, step in when things get physical. Make it clear that it's never okay to hit, bite, kick, or otherwise intentionally hurt the other person. Try to remain impartial and not get involved in the blame game. Instead, challenge your kids to come up with a solution ("How can we satisfy everyone?"). If they need a little nudge, suggest a compromise — then compliment them for giving it a try.

  • Likewise, find other opportunities to praise your children for sharing or playing well together ("Wow, look what you guys built — now that's teamwork!"). Don't wait until they fight to give them your attention.

  • Set a good example. Sure, you can talk about the right way to behave, but kids learn more from watching what you do. So treat them and your spouse with kindness and respect. When you do argue with your partner, avoid knock-down, name-calling, door-slamming free-for-alls (for your kid's sake — and your own!).

  • Play it safe with infants. Never leave a toddler alone with an infant sibling. Even the most loving tot can injure an infant with an overexuberant hug or rock of the cradle.


Insights for Parents:

Helping a Toddler or Preschooler Cope with Sibling Rivalry


One day after I moved into a new neighborhood a few years ago, a young child who lived down the block came over to say hello. Like so many exuberant preschoolers, he couldn't wait to tell me all about his world, spewing forth details about himself, his parents, and his new baby sister, Katy. When he paused to take a breath, I asked him how old he was.


"I'm five," he said with a smile that was quickly followed by a melodramatic sigh of apparent frustration. "But when Katy turns one, I'm going to be thirty-seven!"


In those few words he told me how overwhelming the experience of being an older sibling can feel to young children. To toddlers and preschoolers, the birth of a new baby is almost always an event filled with mixed emotions. They may take great pride in their new titles as older brothers and sisters. Yet those positive feelings are often overshadowed by worries about the changes in their roles within their families. Will they be replaced or abandoned? How much of their parents' attention and love will they now have to share?


Despite the importance of these concerns, young children seldom express them directly. But if you know how to listen to the messages behind their words and actions, you can see what's on their minds, even before the birth.


The daughter of two friends of mine expressed those strong but ambivalent feelings quite beautifully. The girl had begged her parents for a baby brother and, at first, was overjoyed when her mother became pregnant. But as her mother changed shape, and both her parents became more focused on the upcoming birth, the girl's attitude changed. One morning, when her father asked her what she wanted to do as a new big sister when they brought her brother home from the hospital, the girl replied, "I'm looking forward to holding him and hugging him until he turns blue!"


There was no true malice in her statement. It was simply an honest reflection of her conflicting feelings: simultaneously wanting to love him and to get rid of him. That's why it shouldn't surprise you if, a few days or weeks after you bring a new baby home, your other child asks when you're going to send him back. Many toddlers and preschoolers don't realize that the change is permanent.


Two of the most common signs of sibling rivalry among toddlers and preschoolers are emotional and physical regression. Young children may become more clingy than usual. A boy who's recently been toilet-trained may start wetting his pants. A girl who just stopped sucking her thumb may take up the habit again. This regression seldom lasts more than a few weeks or months until the children understand that their worst fears ("My parents will abandon me!") haven't been realized. They'll then surge ahead in their development and get back on track.


The age difference between the two children can also have an effect on how much regression and other behavior changes you see in the older child. On average, siblings in our culture are separated by two to four years. Yet those are the ages at which children are struggling to feel comfortable when separated from their parents. That's one of the reasons why toddlers and preschoolers tend to show more regression than older children do when a new baby is born into their family.


Toddlers and preschoolers also often have unrealistic expectations for their new brothers and sisters. They have little conception of how newborns behave, and may imagine that they'll quickly be playing house or riding tricycles together. They think of their new sibling as a playmate, not a baby.


Interestingly, children who have been attending preschool or a child-care center regularly may have an easier time adjusting to a new sibling than children who've been cared for at home. It's not simply a matter of children who are at home being used to depending on their parents for all their emotional support and adult attention. It's partly that children who are in preschool have a space and people that they don't have to share with the new baby.


Handling Early Sibling Rivalry

Always remember that the fundamental concern of toddlers and preschoolers in this situation is that they'll be abandoned by their parents—in essence, traded in for a newer and better model. This is a fear that parents need to address repeatedly, even if their children never broach the topic. Sometimes the best ways to reassure a child are symbolic rather than direct. For example:


  • If at all possible, don't have the new baby use the same crib as the older child, especially if the older one has recently transferred to a regular bed. You might try swapping cribs with someone in your birthing class who's in the same situation.) If that's too expensive a change to make and swapping isn't practical, buy different bedclothes for it so that it looks somewhat different.

  • Toddlers often attach a great deal of emotional importance to the blankets that comfort them at night. That's why "security blankets" are such a common transitional object. One way of letting your child know that she won't be replaced is to put her old blankets in her room and tell her that she can keep them for the rest of her life.

  • Put together a scrapbook about your older child and her family. This can have pictures of family members, the child's friends, and souvenirs of special family activities such as vacations and holiday celebrations. This reassures her about the links between her and her family, and gives her something to hold on to—both literally and figuratively—while her mother's in the hospital.

  • Get out your older child's baby book. Go over the pictures and talk about what she was like when she was born. Retell happy stories about her birth and her first trip home. Talk about how much she cried and when she slept and ate. This will allow her to revisit those feelings of being special and to prepare for what having a new baby in the house will be like.

  • Try to maintain your family's daily rituals during the pregnancy. Even small things, such as eating family meals at the same time, help children feel more secure because some important aspects of their lives are consistent during this time of dramatic change.


Coping with Toddler Sibling Rivalry


Parents should know what to look for to spot toddler sibling rivalry, because helping the older sibling deal with these feelings now helps create the foundation for a good lifelong relationship with the sibling. Toddlers have many mixed feelings during the introduction of siblings when a newborn is welcomed into the family. These feelings can be at the heart of toddler sibling rivalry. Toddlers are rarely able to express their conflicting feelings with words, so their behavior does it for them.


Causes of Sibling Rivalry

Anxiety
There is a lot of excitement and anticipation in the family when a new baby is expected, and even more when the baby arrives. Young kids can sense the adults’ excitement, and know something big is coming. There may be changes in the child’s routine too, perhaps moving to a toddler bed instead of a crib, changing rooms and lots of talk about what’s to come. Changes to routine and excitement can cause anxiety. Anxiety shows itself in many ways. Here are some possible signs of anxiety from changes:


  • sleeplessness

  • moodiness

  • anger

  • extra demands for attention

  • clinginess

  • regressive behavior such as bathroom accidents or baby talk


What can a parent do to ease anxiety? First, help the toddler express his feelings with words. Ask him if he has worries about the new baby that he’d like to talk about. Discuss feelings that he may be having, and give him attention. There are many good books that parents can read with their toddler that will help put these feelings into words. Being able to express the feelings and know that they are okay to have can help a toddler cope with them and move on. When the words take over, often the behaviors will stop or lessen in intensity.


Fear of Losing Love

The fear of losing parental love is especially common for first-born toddlers. These kids have had their parents’ undivided attention all their lives. Now the idea of sharing it, or having to give some up, is disturbing. Attention-getting behavior is common, as is clinginess. Parents can reassure their child that there will always be enough love for her. Tell her that she’ll always be important to you, and now she’s going to be important to someone else as well: her new sibling. Involve her in “big helper” activities, such as folding and putting away baby clothes or diapers, or making a welcome sign. When the new baby comes, have her get you things and always praise her for being there. Both before and after the baby comes, be sure to schedule one-on-one time with your toddler to give undivided attention and make sure she knows she is special too.


Resentment
Although your toddler will love the new baby, he may also resent the baby’s place in your life at the same time. The negative feeling of resentment can cause the toddler to feel guilty, making even more complex feelings to deal with. Always set boundaries and do your best to help your toddler talk it out. Let him know that it’s okay to feel angry, but that it’s not okay to hurt the baby and that anger should be expressed in words, no actions. Make sure that your toddler gets special attention and extra praise for positive behavior, which can help curb these feelings.


Confusion
Your toddler may not know how to be an older sibling. She may be shy or have unrealistic expectations about what the baby will be able to do. She may be expecting the baby to play with her or to be allowed to carry the baby around the house. Be sure to teach her how to be a big sister–ways to interact with the baby that are appropriate, and that will result in her getting those first smiles in a few weeks.


Suggest that she sing, read, talk to and show the baby things, rather than touching the baby or smothering the baby with kisses. Set boundaries for what is allowed and not allowed, such as holding the baby while supervised, or what is okay or not okay to give the baby. The more you can teach your toddler how to be a big sibling, the more she will grow into her role with pride.


Help with Sibling Rivalries

Managing a new baby and coping with a fussy toddler can be a serious challenge, but failing to meet the challenge can result in sibling rivalries that linger into adulthood.


During the first months that your new baby is home, she will need more attention than your toddler. Your toddler won’t understand why, only that all the attention is going to the baby. Take time to explain what’s happening, involve your toddler as much as possible and try to spend some quiet time together. Switching off baby care duties and toddler time with your partner will ensure that one parent isn’t seen as unavailable or uninterested.


Remember that this is an ongoing process. As your children grow, sibling rivalries can spring up any time that one child feels neglected. Confront these feelings head-on, listening to your child and being responsive to her needs. Remind your children that there’s no competition where your love is concerned, and you’ll help to build strong relationships between everyone in the family.

memberi tanpa pertimbangan

cobalah untuk mengawali suatu hari anda dengan niat untuk memberi. mulailah dengan sesuatu yang kecil yang tak terlalu berharga di mata anda. mulailah dari uang receh. kumpulkan beberapa receh yang mungkin tercecer di sana sini, hanya untuk satu tujuan: diberikan. apakah anda sedang berada di bus kota yang panas, lalu datang pengamen bernyanyi memekakkan telinga. atau, anda sedang berada dalam mobil ber-ac yang sejuk, lalu sepasang tangan kecil mengetuk meminta-minta. tak perduli bagaimana pendapat anda tentang kemalasan, kemiskinan, dan lain sebagainya. tak perlu banyak berpikir, segera berikan satu dua keping kepada mereka.

memberi tanpa pertimbangan bagai menyingkirkan batu penghambat arus sungai. arus sungai adalah rasa kasih dari dalam diri. sedangkan batu adalah kepentingan yang berpusat pada diri sendiri. sesungguhnya bukan receh atau berlian yang anda berikan, kemurahan itu tidak terletak di tangan, melainkan di hati.

(motivasi.net)

It's Between You and God

People are often unreasonable, illogical, and self-centered;
Forgive them anyway.

If you are kind, people may accuse you of selfish, ulterior motives;
Be kind anyway.

If you are successful, you will win some false friends and some true enemies;
Succeed anyway.

If you are honest and frank, people may cheat you;
Be honest and frank anyway.

What you spend years building, someone could destroy overnight;
Build anyway.

If you find serenity and happiness they may be jealous;
Be happy anyway.

The good you do today, people will often forget tomorrow;
Do good anyway.

Give the world the best you have, and it may never be enough;
Give the world the best you've got anyway.

You see, in the final analysis, it is between you and God;
It was never between you and them anyway.

(by Dr. Kent M. Keith, Mother Teresa put these up on the wall of her children's home in Calcutta, which is why this is sometimes attributed to her)

kompromi kepribadian dalam pernikahan

Suami istri yang tipe kepribadiannya bertolak belakang, tanpa kompromi bisa terus konflik. Mau terus konflik atau berdamai, modal awalnya pahami dulu tipe kepribadian masing-masing.

Cuma gara-gara mencet odol dari tengah saja bisa memicu genderang perang, lho. Punya pasangan yang cenderung dan terlatih untuk hidup teratur biasanya tetap akan mempertahankan kebiasaannya setelah menikah. Ia terbiasa memencet odol dari ujung, bukan dari tengah. Melipat koran dengan rapi dan meletakkan pada tempatnya setelah membaca, otomatis mengelap dan menyapu kotoran begitu ada sampah, dan selalu memakai piyama saat tidur. Semua serba teratur dan rapi. Bayangkan bila pasangan hidupnya cenderung santai dan slebor. Tanpa ada yang mau mengalah, tentu saja keduanya akan tersiksa.

Salah satu cara mengatasi masalah ini adalah dengan mengenali kepribadian masing-masing. Ada banyak alat yang bisa dipakai untuk memahami kepribadian, salah satunya dikembangkan oleh Katharine Briggs dan Isabel Myers pada masa perang dunia II. Pasangan ibu dan anak asal Amerika itu mengembangkan teori kepribadian dari konsep Carl Gustav Jung, Psikolog asal Swiss dan melahirkan Myers Briggs Type Indicator (MBTI). Walaupun pada awalnya indikator ini digunakan untuk dunia kerja, namun dalam perkembangannnya ukuran ini bisa dipakai pada berbagai aspek kehidupan, termasuk perkawinan. Ada 16 tipe kepribadian MBTI, yang menjadi petunjuk kepribadian seseorang, tentu setelah sebelumnya melalui suatu tes.


PAHAMI DIRI DULU, BARU PASANGAN.

Ita Dekrita Azli, Psi. Psikolog Klinis yang memiliki lisensi internasional untuk MBTI di Indonesia, mengatakan bahwa di dalam mencari pasangan hidup orang cenderung mencari pasangan hidup yang memiliki kemiripan dengannya. Namun, faktanya banyak pasangan yang tipe kepribadiannya berbeda sama sekali. Maka mau tak mau harus dilakukan kompromi agar perkawinan bisa berjalan. "Idealnya yang menjadi kekurangan suami jadi kelebihan istri. Sebaliknya, yang menjadi kekurangan istri jadi kelebihan suami. Jadi klop, saling melengkapi " tutur perempuan dengan tipe kepribadian ENFJ ini.

Bukan jaminan pula orang yang sama atau mendekati tipe kepribadiannya bisa langsung harmonis. Bisa jadi, pasangan yang tipe kepribadiannya sama malah jadi membosankan. " Istri ESTJ, suaminya ESTJ juga, bayangan kita pasangan ini harmonis, nggak bakal banyak permasalahan. Padahal, tidak juga, " urai ibu dari satu anak ini.

Ita mengingatkan, setiap pasangan perlu memahami hakikat bersatunya setiap pribadi dalam pernikahan. Pertama, bersedia menerima pasangan apa adanya. Kedua, lebih menghargai padangan kita. Ketiga, saling menghormati. Jadi, pasangan suami istri yang memiliki kecenderungan teratur, sementara yang satunya santai sebagaimana diatas, tidak mungkin hubungan bisa harmonis tanpa kompromi dengan melakukan ketiga hal di atas.

Namun, sebelum bisa memahami orang lain, kita harus memahami dirinya sendiri dulu. Dengan memahami kecenderungan, cara berpikir dan bertindak kita, barulah kita bisa memahami orang lain. " sejauh mana kita bisa menerima diri kita apa adanya, menerima dari segala kelebihan dan kekurangan diri kita. Karena kalau dengan diri sendiri saja kita masih berkonflik, kemungkinan besar kita juga akan mudah berkonflik dengan orang lain, terutama pasangan kita, " papar lulusan S-2 Psikologi UI ini.


KOMPROMI UNTUK SALING MEMBAHAGIAKAN

Ita menjelaskan bahwa sebenarnya dengan 16 tipe kepribadian MBTI itu kita akan lebih memahami dinamika tipe setiap individu. " tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk, semua punya keunikan sendiri " katanya. Masing-masing punya tantangan tersendiri untuk beradaptasi.

Dengan melakukan tes, hasilnya lebih jelas. Ita mencontohkan, bisa jadi dalam mengambil keputusan, suami maupun istri sama-sama cenderung ke Feeling. Namun, unsurnya bisa berbeda. Misalnya, istrinya sangat jelas (clear) unsur F, sementara sang suami ringan (like) saja. Untuk pasangan tersebut, cara mereka dalam mengambil keputusan tergambar jela lebih mempertimbangkan perasaan ketimbang logika. Pasangan ini sering mengalami hambatan komunikasi, karena masing-masing lebih menahan perasaannya daripada langsung mengungkapkannya. "tapi, kalau sudah marah bisa sangat emosional," jelas perempuan yang hobi belajar bahasa asing ini.

Lain lagi bila kecenderungannya berbeda. Misal, yang satu ke arah Feeling, sementara pasangannya Thinking. Siapa yang mau mengalah ? umumnya, yang Feeling lebih banyak mengalah. Atau, buat yang gaya hidupnya biasa teratur (Judging), sulit beradaptasi dengan ketidakteraturan (Perceiving). Tapi, demi keharmonisan harus ada yang menurunkan kadarnya. Mungkin masih tetap perceive, tapi kadarnya sudah menurun.

Ita menegaskan bahwa perbedaan tidak akan selalu membuat konflik meruncing. Justru dengan segala perbedaan itu kita harus membantu dan bekerja sama satu sama lain. Dengan mengetahui kecenderungan seseorang, kita juga bisa tahu bagaimana caranya membahagiakan pasangan kita. Bagi orang yang berindikasi Feeling, ungkapan sayang secara verbal ataupun perilaku sangat penting untuk kebahagiaannya. Namun, untuk pasangan yang cenderung Thinking, tidak terlalu mementingkan hal itu. " kita mesti memahami bahwa kita punya lingkaran komunikasi. Jadi kalau tipe kita ada disini, pasangan kita ada di sana berarti memang masing-masing pasangan harus bersedia untuk saling mendengarkan kemudian baru kita bahas sama-sama, " kata Ita.

Yang tak boleh diabaikan pula adalah rasa keikhlasan pada setiap pasangan untuk menerima satu sama lain apa adanya. Dari berbagai konseling yang ditanganinya, Ita menyimpulkan banyak pasangan bermasalah karena kurangnya keikhlasan, ingin pasangannya berubah, sementara dirinya sendiri tidak mau berubah. Akhirnya jadi masalah dan konflik terus menerus. " Nah, ilmu ikhlas inilah yang barangkali juga perlu kita kembangkan, " imbuhnya.

Memang tidak ada manusia yang sempurna. Dengan memahami diri sendiri dan pasangan, kita bisa saling mengisi. Jadi, mana yang penting dan tidak pun bisa dikompromikan. " Penting mana antara pakai piyama dan keseriusan cintanya ? "jawabannya ada pada kompromi masing-masing pasangan. Yuk, kita kompromikan.

REF : MAJALAH UMMI, MARET-JUNI 1429 H

Nak, Tuhan sangat sayang kepadamu...

Sore itu,
puluhan anak sedang asyik mengisi saat senggang mereka dengan kesibukan
puluhan bocah sedang giat mewujudkan impian mereka
puluhan generasi pengganti mengisi hari-hari mereka dengan kebaikan ilmu
saat anak-anak lain duduk tertawa di depan televisi
mereka mengernyitkan dahi memutar otak membahas pelajaran demi pelajaran
dalam suatu majelis ilmu bernama gama
di sebuah kota bernama padang
sebuah kota di negeri kami tercinta..

Tiba-tiba,
suara gemuruh datang dan gedung bergoyang
dalam sekejap mata mereka terbenam
kekhusukan berubah menjadi tangis
keheningan berubah menjadi iba
hati-hati para belia pun luruh dalam kepasrahan..
dalam doa-doa lirih yang tak sanggup lagi mereka ucapkan..

Tersentak hati menangis dan jiwa tak mampu berdiri
kepala tak sanggup untuk ditegakkan..
tajam luka hati ini melihat kondisi engkau wahai anak-anakku
dalam kesyahidan mencari ilmu
dalam kemulyaan engkau dipanggil sang pencipta..

Saat asa untuk hidup mengiringi harapan mereka
detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam hingga hari berganti..
pertolongan tak jua datang, ia hanya bisa mengankat sebongkah batu,
ia hanya bisa menjemput satu dan dua jiwa saja,
sedang jiwa-jiwa lain dijemput oleh sang pencipta,
dalam gelap mereka meringis, dalam haus mereka menangis...
dalam rintik hujan mereka pasrah dijemput penciptanya...

Nak...
ketahuilah..
Tuhan sangat sayang kepada engkau,
kepada teman-teman mu, juga kepada yang lain..
engkau lebih mulia dari kami,
engkau lebih berjasa dari para pahlawan manapun..
pahala syahid pun telah menunggu engkau..
dalam menuntut ilmu bagi dirimu, bagi orang tuamu, bagi agamamu dan bagi negaramu..

engkau patut bangga..
engkau tak pernah bermain-main dengan hidup mu,
engkau tak pernah menyia-nyiakan waktu mu,
sedang kami, disini ditempat yang jauh dari mu,
para orang tua, para mahluk dewasa kadang tak sadar telah banyak menyia-nyiakan hidup
telah banyak menyia-nyiakan waktu hanya untuk bermaksiat kepadaNYA
Seharusnya bencana itu bisa menampar hati kami,
seharusnya bencana itu bisa membuka mata kami,
seharusnya bencana itu dapat menyadarkan kami,
dan seharusnya kesyahidan mu itu membuat malu diri kami...

Nak..
sampaikan salamkan kami kepada orangtuamu
sampaikan iri kami kepada ayah bundamu yang sangat tabah
yang telah melahirkanmu sebagai mujahid
dalam mengabdi kepada ilmu
dalam mengisi ruang-ruang waktu
dengan kemulyaan seorang ulama..


Untuk anak-anakku korban gempa di Padang ketika sedang menuntut ilmu dalam gedung gama, kami semua sayang kamu..

http://rojalidahlan.blogspot.com/2009/10/nak-tuhan-sangat-sayang-kepadamu.html

Why I threw the shoe

I am no hero. I just acted as an Iraqi who witnessed the pain and bloodshed of too many innocents

I am free. But my country is still a prisoner of war. There has been a lot of talk about the action and about the person who took it, and about the hero and the heroic act, and the symbol and the symbolic act. But, simply, I answer: what compelled me to act is the injustice that befell my people, and how the occupation wanted to humiliate my homeland by putting it under its boot.

Over recent years, more than a million martyrs have fallen by the bullets of the occupation and Iraq is now filled with more than five million orphans, a million widows and hundreds of thousands of maimed. Many millions are homeless inside and outside the country.

We used to be a nation in which the Arab would share with the Turkman and the Kurd and the Assyrian and the Sabean and the Yazid his daily bread. And the Shia would pray with the Sunni in one line. And the Muslim would celebrate with the Christian the birthday of Christ. This despite the fact that we shared hunger under sanctions for more than a decade.

Our patience and our solidarity did not make us forget the oppression. But the invasion divided brother from brother, neighbour from neighbour. It turned our homes into funeral tents.

I am not a hero. But I have a point of view. I have a stance. It humiliated me to see my country humiliated; and to see my Baghdad burned, my people killed. Thousands of tragic pictures remained in my head, pushing me towards the path of confrontation. The scandal of Abu Ghraib. The massacre of Falluja, Najaf, Haditha, Sadr City, Basra, Diyala, Mosul, Tal Afar, and every inch of our wounded land. I travelled through my burning land and saw with my own eyes the pain of the victims, and heard with my own ears the screams of the orphans and the bereaved. And a feeling of shame haunted me like an ugly name because I was powerless.

As soon as I finished my professional duties in reporting the daily tragedies, while I washed away the remains of the debris of the ruined Iraqi houses, or the blood that stained my clothes, I would clench my teeth and make a pledge to our victims, a pledge of vengeance.

The opportunity came, and I took it.

I took it out of loyalty to every drop of innocent blood that has been shed through the occupation or because of it, every scream of a bereaved mother, every moan of an orphan, the sorrow of a rape victim, the teardrop of an orphan.

I say to those who reproach me: do you know how many broken homes that shoe which I threw had entered? How many times it had trodden over the blood of innocent victims? Maybe that shoe was the appropriate response when all values were violated.

When I threw the shoe in the face of the criminal, George Bush, I wanted to express my rejection of his lies, his occupation of my country, my rejection of his killing my people. My rejection of his plundering the wealth of my country, and destroying its infrastructure. And casting out its sons into a diaspora.

If I have wronged journalism without intention, because of the professional embarrassment I caused the establishment, I apologise. All that I meant to do was express with a living conscience the feelings of a citizen who sees his homeland desecrated every day. The professionalism mourned by some under the auspices of the occupation should not have a voice louder than the voice of patriotism. And if patriotism needs to speak out, then professionalism should be allied with it.

I didn't do this so my name would enter history or for material gains. All I wanted was to defend my country.

Muntazer al-Zaidi is an Iraqi reporter who was freed this week after serving nine months in prison for throwing his shoe at former US president George Bush at a press conference. This edited statement was translated by McClatchy Newspapers correspondent Sahar Issa www.mcclatchydc.com

Masyarakat Substantif

Pada tahun 2000, ketika saya mengajar di sebuah SMA boarding school di luar Jakarta, pihak sekolah mengundang seorang petinggi HRD (Human Resource Development) sebuah perusahaan terkenal di Jakarta. Murid-murid di sekolah saya yang pada umumnya memang anak orang-orang kaya menjadi begitu bersemangat pada hari orang itu datang ke sekolah. Mereka saling bertebakan, mobil apa yang kira-kira dikendarai oleh si sukses ini. Ketika ia datang dengan mengendarai Mercedes C-Class (pembaca tidak perlu bertanya lagi seperti apa penampilannya), murid-murid terkesima dan semakin yakin dengan keberhasilannya.

Yang membuat para pelajar dan guru benar-benar melongo adalah ketika ia bercerita tentang perjalanan karirnya dan berapa gajinya pada saat itu. Ia mengatakan bahwa gajinya pada saat itu 1 juta rupiah (kami sedikit kecewa saat mendengar angka yang jauh dibawah estimasi itu). Tapi rahang bawah para pelajar dan guru langsung turun ke bawah saat ia menyelesaikan penjelasannya. Gajinya 1 juta rupiah ... perjam (bukan perbulan). Jadi kalau dalam sehari dia bekerja selama delapan jam dan dia bekerja lima hari dalam seminggu, Anda bisa hitung sendiri berapa kira-kira penghasilannya dalam sebulan.

Semua itu mampu membuat murid-murid dan guru-guru takjub, kagum, dan mau mendengarkan apa saja yang ia katakan. Rasanya orang seperti ini tidak bisa salah lagi. Kami siap menelan bulat-bulat apa pun yang ia sampaikan.

Seperti itulah kecenderungan manusia, terutama pada masa belakangan ini. Tak perduli siapa Anda dan bagaimana akhlak Anda, tapi jika Anda punya uang banyak, punya rumah dan mobil bagus, dan penampilan Anda wah, maka orang-orang akan mendengar dan memperhatikan Anda.
Seorang profesor pernah ditolak oleh seorang penerima telepon, bahkan dimaki, hanya karena ia menyebut namanya tanpa embel-embel (ia dianggap orang biasa saja). Tapi begitu ia menelpon lagi dengan menyebut gelarnya secara lengkap berikut kedudukannya, Ia langsung dihubungkan dengan pimpinan di tempat itu.

Kalau Anda datang ke suatu tempat dengan mengendarai sebuah motor butut dibandingkan Anda datang ke tempat yang sama dengan mengendarai mobil bagus, maka besar kemungkinan sikap dan pelayanan yang Anda terima juga akan berbeda. Sikap orang bisa sangat berbeda karena tampilan luar yang ada pada seseorang, walaupun manusianya sebetulnya sama saja.

Dalam beberapa forum, saat menjadi pembicara, saya sering bertanya pada hadirin apa kira-kira pandangan mereka sekiranya saya hadir dengan memakai sandal jepit, kaos oblong, sarung sederhana, dan rambut yang tak tersisir ke ruangan itu. Apa pandangan orang-orang yang ada di ruangan itu? Apakah mereka mau mendengarkan saya? Para hadirin yang mendengar pertanyaan itu terdiam. Sebagian lainnya tersenyum. Barangkali mereka membayangkan bagaimana jadinya kalau benar-benar ada orang yang berpenampilan seperti itu masuk dan menjadi pembicara di dalam ruangan tersebut.

Pertanyaannya adalah, apakah substansi diri seseorang berubah hanya karena ia berpenampilan sederhana atau karena ia berpenampilan mewah? Apakah hakikat diri seseorang menjadi lebih buruk hanya gara-gara ia terlihat miskin? Dan apakah seseorang menjadi lebih baik hanya karena ia berpakaian rapi dan mengenakan asesoris mewah dan bermerek?

Bukankah yang melekat di badan serta apapun yang kita kenakan, sejelek atau sebagus apapun, hanyalah kulit, casing, lipstick, bungkus, dan tampilan luar belaka? Lalu mengapa tampilan luar ini bisa mengubah pandangan dan sikap seseorang terhadap orang lain? Mengapa orang yang mengendarai mobil bagus, mengenakan pakaian dari brand ternama, ataupun orang yang mengenakan perhiasan mahal menjadi lebih dihargai dibandingkan orang yang mengenakan atribut sederhana, walaupun hakikat kemanusiaannya sebetulnya masih yang itu-itu juga?

Pertanyaan ini menjadi sulit dijawab ketika kita berkaca pada masyarakat bermental ’bungkusan,’ masyarakat lipstik (lipstick society), yaitu masyarakat yang pandangannya melulu tertuju pada tampilan luar. Masyarakat yang lebih menghargai bungkus ketimbang isi.

Ya, kita memang tengah hidup di tengah masyarakat semacam itu. Masyarakat pemuja materi, dimana saja dan kapan saja, memang cenderung menghargai manusia dari atribut yang dikenakannya, bukan dari kualitas diri seseorang. Yang agak terselamatkan dari ciri-ciri ini barangkali hanya kalangan masyarakat yang lebih menghargai nilai-nilai relijius dan intelektualitas saja, atau juga komunitas seniman yang memang tidak begitu perduli dengan soal penampilan luaran. Selebihnya larut dalam mental bungkusan. Kalau Anda tidak kaya, tidak popular, atau tidak mengikuti mode, maka Anda bukan siapa-siapa.

Perhatian yang terlalu berlebihan terhadap aspek luaran menyebabkan munculnya angka-angka fantastik dalam upaya manusia membungkus dan menopengi dirinya sendiri. Beberapa angka berikut mungkin bisa memberi sedikit gambaran tentang fenomena yang melanda manusia modern. Pada tahun 2006, masyarakat Amerika diperkirakan menghabiskan $ 14 miliar hanya untuk memerangi keriput di wajah mereka yang mulai menua (Timeonline, 31 Oktober 2006).

Pada tahun 2007, ada 7.882 operasi pembesaran payudara yang dilakukan oleh remaja Amerika, meningkat 55% dibandingkan tahun sebelumnya (Timeonline, 13 Maret 2008). Adapun perempuan yang melakukan operasi payudara pada tahun 2006 (mungkin ini di seluruh dunia) diperkirakan mencapai 57.000 orang (Newyorktimesonline, 22 Desember 2008). Angka penjualan kosmetik dunia untuk tahun-tahun belakangan ini mencapai 234 miliar dolar setiap tahunnya (Newsweek, Desember 1999 – Februari 2000: 69). Hal yang sama juga berlaku di berbagai belahan dunia yang lain. Bahkan di Indonesia sempat didapati beberapa artis terjebak menjadi pelanggan seorang ’ahli kecantikan’ gadungan.

Masyarakat modern betul-betul terobsesi akan penampilan mereka. Bukan hanya bagi kalangan wanitanya, tapi juga kalangan pria. Kini kita mengenal sebuah istilah yang menggambarkan kalangan pria modern yang sangat memperhatikan penampilan mereka: pria metroseksual. David Beckham merupakan salah satu ikon istilah baru ini. Istilah metroseksual muncul untuk menggambarkan pria-pria modern yang rajin pergi ke salon secara rutin untuk menjaga penampilan mereka serta selalu mengikuti mode yang tengah berkembang. Saya lebih suka menyebutnya ’pria pesolek.’ Semua itu dilakukan demi meningkatkan penampilan dan memoles citra diri di depan publik.

Citra (image) pada masa sekarang ini tampak seperti segala-galanya. Citra berbeda dengan substansi. Ia mungkin bisa mewakili sebuah substansi, tapi bisa juga menampilkan hal yang jauh berbeda dari keadaan yang sebenarnya. Citra adalah gambaran atau kesan dari sesuatu. Persoalannya adalah, hal yang paling dulu dan paling cepat ditangkap dalam proses pencitraan adalah bagian luarnya. Apa yang ada dibagian luar akan memberi kesan paling cepat, dan mungkin juga paling kuat. Kalau substansi dari sesuatu ternyata berbeda dan akhirnya mengemuka, maka citra atau kesan atas sesuatu akan ikut berubah. Hanya saja, pada zaman modern ini, berkat bantuan media massa, kesan yang positif bisa terus dihadirkan di benak masyarakat, terlepas dari substansinya yang bermasalah.

Makanan-makanan junk food yang ditawarkan restoran-restoran siap saji bisa menyebabkan obesitas dan tekanan darah tinggi. Namun makanan-makanan ini dicitrakan secara berbeda, maka orang-orang pun terus berdatangan ke restoran-restoran siap saji dan menganggapnya sebagai gaya hidup yang pantas. Minuman-minuman bersoda bisa merusak tulang dan gigi serta memiliki banyak kelemahan lainnya. Namun minuman-minuman ini dicitrakan secara berbeda, maka orang-orang pun merasa hidup ini tidak lengkap sekiranya mereka belum mengkonsumsinya.

Rokok bisa menyebabkan kanker, serangan jantung, dan berbagai penyakit mematikan lainnya. Masyarakat secara umum sudah mengetahuinya. Namun perusahaan-perusahaan rokok memiliki terlalu banyak uang untuk mengemas pencitraan produk-produk mereka. Maka orang-orang terus saja membelinya dan merasakan kesan yang hebat ketika menghisapnya.

Di jaman modern ini, sesuatu yang sudah bernilai positif sekalipun sulit untuk meraih sebuah prestasi sekiranya tidak didukung oleh citra yang kuat. Apakah seorang calon presiden Amerika Serikat, atau calon presiden di negara-negara lainnya, dengan kapasitas yang luar biasa sekalipun, akan terpilih sekiranya ia tidak menjaga penampilannya dengan baik? Rasanya ini mustahil terjadi di negara-negara maju dan demokratis. Karakter dan kepribadian seseorang memang penting, tapi citra tetap dianggap segala-galanya.

Kebalikan dari hal di atas, rasanya sungguh menakjubkan saat kita mempelajari sejarah awal kaum Muslimin, yaitu masyarakat yang telah dibentuk oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam di Madinah dan sekitarnya. Mereka betul-betul menghargai manusia berdasarkan kualitas dirinya, tanpa memandang atribut yang dikenakannya. Bukan berarti Islam sama sekali tidak memandang penting penampilan seorang Muslim. Islam sangat menghargai kebersihan dan kerapihan, serta keindahan.

Dalam salah satu hadithnya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.” Kendati demikian, penilaian utama atas diri seseorang tetaplah ditujukan pada kualitas diri manusianya, bukan pada tampilan luarnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang sangat menjaga kebersihan dan kerapihan, dan beliau sangat menyukai wangi-wangian. Namun, beliau tidak pernah berusaha membangun pencitraan diri melalui kekayaan, popularitas, ataupun tampilan luar. Beliau ada sosok manusia yang substantif, jauh dari kepura-puraan, dan tidak merasa perlu mengenakan topeng atau bungkus tertentu di sekitar dirinya untuk menimbulkan kesan tertentu pada orang lain. Beliau hidup sederhana, tinggal di rumah yang sederhana, tidur dengan alas yang sederhana, bergaul dengan manusia secara apa adanya. Beliau bergaul dengan yang kaya dan yang miskin, yang tampan maupun yang tidak, yang sehat maupun yang cacat. Beliau tidak melihat kelebihan pada penampilan luar seseorang, tetapi lebih menghargai akhlak dan keimanan mereka.

Beliau pernah marah ketika kaki atau warna kulit (keadaan fisik) sahabatnya ditertawakan atau dicela. Beliau segera menyempatkan berziarah kubur dan melakukan shalat ghaib ketika mengetahui seorang berkulit hitam yang biasa membersihkan masjid meninggal dunia (walaupun ia bukan orang yang penting). Beliau pernah mengabarkan tentang seorang yang termasuk sebagai ahli surga dan ternyata orang yang dimaksud adalah seorang yang tidak dikenali oleh orang-orang yang hadir (tidak populer). Beliau menyampaikan kepada umat ayat-ayat al-Qur’an, termasuk yang merupakan teguran dari Allah terhadap diri beliau. Beliau tidak berusaha menutup-nutupinya demi menjaga citra.

Hal ini juga diikuti oleh para sahabatnya yang mulia. Ketika diangkat menjadi khalifah sepeninggal Nabi, Abu Bakar ra tidak merasa sungkan untuk pergi ke pasar demi mencari nafkah, karena ketika itu belum ada ketentuan tentang gaji pemimpin negara Islam. Setelah disepakati adanya gaji untuk khalifah barulah Abu Bakar berhenti berjualan di pasar dan mencurahkan seluruh waktunya untuk umat. Umar ibn Khattab ra, ketika menjabat sebagai khalifah, pernah membuat heran penduduk Yerusalem ketika kota tersebut baru saja ditaklukkan kaum Muslimin.

Pasalnya Umar memasuki kota Yerusalem dalam keadaan berjalan kaki sambil membimbing untanya yang sedang dinaiki oleh budaknya, sehingga orang-orang bingung siapa khalifah yang sebenarnya. Salman al-Farisi menginfakkan hampir seluruh gajinya ketika menjabat sebagai gubernur Persia dan mencari penghidupan dari menganyam pelepah kurma. Beliau juga pernah berlalu di sebuah jalan dan diminta mengangkat barang oleh seorang pendatang yang baru memasuki kota tempat beliau berdinas karena ia mengira Salman hanya orang biasa atau seorang pekerja kasar. Dan Salman membantu mengangkat barang-barang orang itu sampai ke tempat tujuannya tanpa merasa sungkan. Mereka semua tidak merasa takut citra diri mereka rusak karena penampilan mereka yang tidak berbeda dengan orang-orang pada umumnya.

Mereka adalah manusia-manusia esensial, manusia yang mendahulukan substansi ketimbang citra (image).

Ada begitu banyak contoh lain yang bisa kita hadirkan. Tapi biarlah kita menutupnya dengan sebuah kisah. Suatu kali seorang ulama berhadap-hadapan dengan seorang kaya yang sombong. Orang kaya itu tidak suka dengan sikap si ulama yang tidak memuliakan dirinya. Maka ia pun menggertaknya dan bertanya dengan sombong, ”Apakah kamu tidak tahu siapa saya?” Maka si ulama menjawab dengan tenang. ”Saya tahu siapa kamu,” ujarnya mantap. ”Kamu ini dulunya air mani yang hina, sekarang perut kamu berisi kotoran, dan suatu saat nanti kamu akan menjadi bangkai.”

Demikianlah si ulama mendeskripsikan biografi si sombong itu sekaligus, sejak dulu, sekarang, hingga ke masa depan nantinya. Seperti itulah esensi seseorang jika ia hanya memperhatikan dan membanggakan aspek fisiknya. Bagian luarnya mungkin cantik dan menarik, tapi isi perutnya sebetulnya hanya kotoran. Ia boleh jadi kaya raya, tapi pada hakikatnya ia berasal dari sesuatu yang tidak berharga (air mani) dan akan berakhir menjadi sesuatu yang juga tidak berharga (bangkai).
Kita mesti menyadari bahwa hakikat kemanusiaan kita yang paling penting adalah aspek dalaman berupa keimanan dan akhlak yang mulia. Inilah yang menjadi inti diri seseorang, hal yang menjadi substansinya.

Sungguh kita merindukan kembalinya masyarakat substantif, masyarakat yang menghargai penampilan yang baik dan tidak berlebihan, tetapi tetap menomorsatukan aspek dalaman seorang manusia. Kita merindukan masa ketika orang-orang tidak lagi melihat kita dari pakaian yang kita kenakan, merek jam yang kita pakai, mobil yang kita miliki dan kendarai, luas dan kemewahan rumah yang kita tinggali. Kita merindukan kembalinya masyarakat substantif, masyarakat yang lebih mementingkan isi dan kualitas diri manusia berupa akhlak dan perilaku yang baik. Semoga masa itu segera datang kepada kita.

Kuala Lumpur,
21 Agustus 2009

Alwi Alatas,
Mahasiswa PhD jurusan Sejarah dan Peradaban Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (S1 jurusan Sejarah Univ. Indonesia, S2 jurusan Sejarah Univ. Islam Antarabangsa Malaysia)& penulis buku. http://alwialatas.multiply.com

Tanda Puasa Berhasil

Jakarta -Kita telah mengetahui semua, bahwa ibadah puasa yang diwajibkan kepada kita bertujuan membentuk manusia yang bertakwa. Takwa adalah puncak derajat seorang hamba di hadapan khaliq-Nya.

Makna ketakwaaan seringkali kita uraikan dalam rangkaian kata yang luas dan abstrak. Karena luasnya pemaknaan, seringkali kita malah tidak bisa menjadikannya sebagai patokan.

Dari sekian banyak penguraian makna bertakwa, maka sesungguhnya ada yang bisa kita jadikan pengukur keberhasilan kita berpuasa. Sekurang-kurangnya ada tiga ukuran sederhana untuk mengukur apakah puasa kita telah berhasil.

Yang pertama adalah, apakah selama berpuasa di bulan Ramadan ini, jumlah konsumsi makanan dan minuman kita lebih sedikit? Atau untuk mudahnya, apakah volume makanan dan minuman yang kita nikmati selama Ramadan ini lebih rendah di banding bulan lain?

Jika ternyata jumlah konsumsi makanan dan minuman yang kita nikmati selama Ramadan ini sama atau lebih banyak dari bulan yang lain, berarti puasa kita belum berhasil.

Alat ukur sederhana yang kedua dari keberhasilan kita berpuasa adalah jumlah berat badan kita. Apabila berat badan kita tidak berkurang selama puasa Ramadan ini, berarti puasa kita belum berhasil. Sebab jika kita berpuasa dengan benar, berarti terjadi pengurangan jumlah konsumsi makanan kita.

Karena biasanya kita makan tiga kali sehari, sementara selama bulan puasa ini kita hanya makan dua kali sehari, yaitu pada saat sahur dan berbuka. Padahal mengendalikan nafsu makan adalah salah satu hawa nafsu paling dasar yang harus kita kuasai selama kita berpuasa.

Apalagi kalau ternyata kemudian justru pada bulan Ramadan berat badan kita meningkat, maka bisa dipastikan bahwa kita adalah makhluk 'pendendam'. Siang hari kita tahan nafsu makan kita, tetapi malam hari, nafsu itu tumpah tak terkendali, bahkan cenderung liar. Ini artinya bahwa puasa kita belum berhasil.

Tanda ketiga bahwa puasa kita berhasil adalah zakat (fitrah), infak dan amal sosial lainnya. Logika sederhana yang bisa mendasari tanda ketiga ini adalah bahwa karena selama Ramadan kita makan dari tiga kali menjadi dua kali.

Artinya, setiap hari kalau kita berpuasa dengan benar telah menghemat satu kali makanan. Bahasa sederhananya setiap hari kita menabung senilai satu kali makan. Sehingga di akhir bulan Ramadan akan sangat mudah bagi kita untuk berzakat fitrah 3,5 liter beras. Karena kita sudah menabung 30 hari (30 kali) genggam beras. Bahkan lebihnya bisa kita jadikan sebagai sedekah kepada kaum dhuafa.

Belum lagi bila kita kaitkan dengan didikan rasa lapar dan haus yang kita rasakan selama kita menjalani puasa Ramadan, akan menimbulkan empati dan solidaritas sosial kepada mereka yang sangat sering hari-harinya merasakan lapar dan haus. Dengan puasa Ramadan seharusnya begitu mudah hati kita tersentuh oleh penderitaan mereka yang tidak berpunya.

Apalagi kepada mereka yang saat ini hidup di kawasan bencana seperti kawasan lumpur Lapindo. Mereka ini selain menderita karena kehilangan rumah tinggalnya, mereka pun ketiadaan sumber pangan pada bulan suci yang mulia ini.

Pada bulan Ramadan ini, marilah kita tingkatkan kualitas puasa kita. Sekaligus mengisinya dengan memperbanyak amal sosial untuk membantu saudara kita yang kekurangan.

Ahmad Juwaini - detikRamadan
*) Ahmad Juwaini adalah Executive Director Dompet Dhuafa

Berbagai Gaya Orangtua Memperlakukan Anak

Kondisi ketidakpatutan dalam memperIakukan anak ini telah melahirkan
berbagai gaya orangtua (Parenting Style) yang melakukan kesalahan
"miseducation" terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya. Elkind
(1989) mengelompokkan berbagai gaya orangtua dalam pengasuhan, antara
lain:

Gourmet Parents - (Ortu Borju)

Mereka adalah kelompok pasangan muda yang sukses. Memiliki rumah
bagus, mobil mewah, liburan ke tempat-tempat yang eksotis di dunia,
dengan gaya hidup kebarat baratan. Apabila menjadi orangtua maka
mereka akan cenderung merawat anak-anaknya seperti halnya merawat
karier dan harta mereka. Penuh dengan ambisi! Berbagai macam buku akan
dibaca karena ingin tahu isu-isu mutakhir tentang cara mengasuh anak.
Mereka sangat percaya bahwa tugas pengasuhan yang baik seperti halnya
membangun karier, maka "superkids" merupakan bukti dari kehebatan
mereka sebagai orangtua. Orangtua kelompok ini memakaikan anak-anaknva
baju-baju mahal bermerek terkenal, memasukkannya ke dalam
program-program eksklusif yang prestisius. Keluar masuk restoran
mahal. Usia 3 tahun anak-anak mereka sudah diajak tamasya keliling
dunia mendampingi orangtuanya. Jika suatu saat kita melihat sebuah
sekolah yang halaman parkirnya dipenuhi oleh berbagai merek mobil
terkenal, maka itulah sekolah banyak kelompok orangtua "gourmet "
atau- kelompok borju menyekolahkan anak-anaknya.

College Degree Parents - (Ortu Intelek)

Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang menengah
ke atas. Mereka sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sering
melibatkan diri dalam barbagai kegiatan di sekolah anaknya. Misalnya
membantu membuat majalah dinding, dan kegiatan ekstra kurikular
lainnya. Mereka percaya pendidikan yang baik merupakan pondasi dari
kesuksesan hidup. Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak
mereka "Superkids ", Apabila si anak memperlihatkan kemampuan akademik
yang tinggi. Terkadang mereka juga memasukkan anak-anaknya ke sekolah
mahal yang prestisius sebagai bukti bahwa mereka mampu dan percaya
bahwa pendidikan yang baik tentu juga harus dibayar dengan pantas.
Kelebihan kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap
kurikulum yang dilaksanakan di sekolah anak anaknya. Dan dalam banyak
hal mereka banyak membantu dan peduli dengan kondisi sekolah.

Gold Medal Parents - (Ortu Selebritis)

Kelompok ini adalah kelompok orangtua yang menginginkan anak-anaknya
menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka sering
mengikutkan anaknya ke berbagai kompctisi dan gelanggang. Ada
gelanggang ilmu pengetahuan seperti Olimpiade matematika dan sains
yang akhir-akhir ini lagi marak di Indonesia . Ada juga gelanggang
seni seperti ikut menyanyi, kontes menari, terkadang kontes
kecantikan. Berbagai cara akan mereka tempuh agar anak-anaknya dapat
meraih kemenangan dan merijadi "seorang Bintang Sejati ". Sejak dini
mereka persiapkan anak-anak mereka menjadi "Sang Juara", mulai dari
juara renang, menyanyi dan melukis hingga none abang cilik kelika
anak-anak mereka masih berusia TK.
Sebagai ilustrasi dalam sebuah arena lomba ratu cilik di Padang
puluhan anak-anak TK baik laki-laki maupun perempuan tengah menunggu
di mulainya lomba pakaian adat. Ruangan yang sesak, penuh asap rokok,
dan acara yang molor menunggu datangnya tokoh anak dari Jakarta .
Anak-anak mulai resah, berkeringat, mata memerah karena keringat
melelehi mascara anak kecil mereka. Para orangtua masih bersemangat,
membujuk anak-anaknya bersabar. Mengharapkan acara segera di mulai dan
anaknya akan kelular sebagai pemenang. Sementara pihak penyelenggara
mengusir panas dengan berkipas kertas.Banyak kasus yang mengenaskan
menimpa diri anak akibat perilaku ambisi kelompok gold medal parents
ini. Sebagai contoh pada tahun 70-an seorang gadis kecil pesenam usia
TK rnengalami kelainan tulang akibat ambisi ayahnya yang guru
olahraga. Atau kasus "bintang cilik" Yoan Tanamal yang mengalami
tekanan hidup dari dunia glamour masa kanak-kanaknya. Kemudian
menjadikannya pengguna dan pengedar narkoba hingga menjadi penghuni
penjara. Atau bintang cilik dunia Heintje yang setelah dewasa hanya
menjadi pasien dokter jiwa. Gold medal parent menimbulkan banyak
bencana pada anak-anak mereka!

Beberapa waktu yang lalu kita saksikan di TV bagaimana bintang cilik
"Joshua" yang bintangnya mulai meredup dan mengkhawatirkan
orangtuanya. Orangtua Joshua berambisi untuk kembali menjadikan
anaknya seorang bintang dengan kembali menggelar konser tunggal.
Sebagian dari kita tentu masih ingat bagaimana lucu dan pintarnya.
Joshua ketika berumur kurang 3 tahun. Dia muncul di TV sebagai anak
ajaib karena dapat menghapal puluhan nama-nama kepala negara. kemudian
di usia balitanya dia menjadi penyanyi cilik terkenal. Kita kagum
bagaimana seorang bapak yang tamatan SMU dan bekerja di salon dapat
membentuk dan menjadikan anaknya seorang "superkid" -seorang penyanyi
sekaligus seorang bintang film..

Do-it Yourself Parents

Merupakan kelompok orangtua yang mengasuh anak-anaknya secara alami
dan menyatu dengan semesta. Mereka sering menjadi pelayanan
professional di bidang sosial dan kesehatan, sebagai pekerja sosial di
sekolah, di tempat ibadah, di Posyandu dan di perpustakaan. Kelompok
ini menyekolahkan anak-anaknya di
sekolah negeri yang tidak begitu mahal dan sesuai dengan keuangan
mereka. Walaupun begitu kelompok ini juga bemimpi untuk menjadikan
anak-anaknya "Superkids" -earlier is better".. Dalam kehidupan
sehari-hari anak-anak mereka diajak mencintai lingkungannya. Mereka
juga mengajarkan merawat dan memelihara hewan atau tumbuhan yang
mereka sukai. Kelompok ini merupakan kelompok penyayang binatang, dan
mencintai lingkungan hidup yang bersih.

Outward Bound Parents - (Ortu Paranoid)

Untuk orangtua kelompok ini mereka memprioritaskan pendidikan yang
dapat memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuan
mereka sederhana, agar anak-anak dapat bertahan di dunia yang penuh
dengan permusuhan. Dunia di luar keluarga mereka dianggap penuh dengan
marabahaya. Jika mereka menyekolahkan anak-anaknya maka mereka lebih
memilih sekolah yang nyaman dan tidak melewati tempat tempat tawuran
yang berbahaya. Seperti halnya Do It Yourself Parents, kelompok ini
secara tak disengaja juga terkadang terpengaruh dan menerima konsep
"Superkids" Mereka mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang
hebat agar dapat melindungi diri mereka dari berbagai macam
marabahaya. Terkadang mereka melatih kecakapan melindungi diri dari
bahaya, seperti memasukkan anak-anaknya "Karate, Yudo, pencak Silat"
sejak dini.. Ketidakpatutan pemikiran kelompok ini dalam mendidik
anak-anaknya adalah bahwa mereka terlalu berlebihan melihat marabahaya
di luar rumah tangga mereka, mudah panik dan ketakutan melihat situasi
yang selalu mereka pikir akan membawa
dampak buruk kepada anak. Akibatnya anak-anak mereka menjadi "steril"
dengan lingkungannya.

Prodigy Parents - (Ortu Instant)

Merupakan kelompok orangtua yang sukses dalam karier namun tidak
memiliki pendidikan yang cukup. Mereka cukup berada, narnun tidak
berpendidikan yang baik. Mereka memandang kesuksesan mereka di dunia
bisnis merupakan bakat semata. Oleh karena itu mereka juga memandang
sekolah dengan sebelah mata, hanya sebagai kekuatan yang akan
menumpulkan kemampuan anak-anaknya. Tidak kalah mengejutkannya, mereka
juga memandang anak-anaknya akan hebat dan sukses seperti mereka tanpa
memikirkan pendidikan seperti apa yang cocok diberikan kepada
anak-anaknya. Oleh karena itu mereka sangat mudah terpengaruh
kiat-kiat atau cara unik dalam mendidik anak tanpa bersekolah. Buku-buku
instant dalam mendidik anak sangat mereka sukai. Misalnya buku tentang
"Kiat-Kiat Mengajarkan bayi Membaca" karangan Glenn Doman , atau
"Kiat-Kiat Mengajarkan Bayi Matematika" karangan Siegfried, "Berikan
Anakmu pemikiran Cemerlang" karangan Therese Engelmann, dan "Kiat-Kiat
Mengajarkan Anak Dapat Membaca Dalam Waktu 9 Hari" karangan Sidney Ledson.

Encounter Group Parents - ( Ortu Ngerumpi)

Merupakan kelompok orangtua yang memiliki dan menyenangi pergaulan.
Mereka terkadang cukup berpendidikan, namun tidak cukup berada atau
terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang lantung). Terkadang
mereka juga merupakan kelompok orangtua yang kurang bahagia dalam
perkawinannya. Mereka menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai
relationship dalam membina hubungan dengan orang lain. Sebagai
akibatnya kelompok ini sering melakukan ketidakpatutan dalam mendidik
anak--anak dengan berbagai perilaku "gang ngrumpi" yang terkadang
mengabaikan anak. Kelompok ini banyak membuang-buang waktu dalam
kelompoknya sehingga mengabaikan fungsi mereka sebagai orangtua. Atau
pun jika mereka memiliki aktivitas di kelompokya lebih berorientasi
kepada kepentingan kelompok mereka. Kelompok ini sangat mudah
terpengaruh dan latah untuk memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya.
Menjadikan anak-anak mereka sebagai "Superkids" juga sangat
diharapkan. Namun banyak dari anak anak mereka biasanya kurang
menampilkan minat dan prestasi yang diharapkan.

Milk and Cookies Parents - (Ortu Ideal)

Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki masa
kanak-kanak yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang
sehat dan manis. Mereka cenderung menjadi orangtua yang hangat dan
menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan
mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan.
Kelompok ini tidak berpeluang menjadi oraugtua yang melakukan
"miseducation" dalam merawat dan mengasuh anak-anaknva. Mereka
memberikan lingkungan yang nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh
perhatian, dan tumpahan cinta kasih yang tulus sebagai orang tua.
Mereka memenuhi rumah tangga mereka dengan buku-buku, lukisan dan
musik yang disukai oleh anak-anaknya. Mereka berdiskusi di ruang
makan, bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi
anak-anak mereka untuk tumbuh mekar segala potensi dirinya. Anak-anak
mereka pun meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh kenangan indah
yang menyebabkan. Kehangatan hidup berkeluarga menumbuhkan kekuatan
rasa yang sehat pada anak untuk percaya diri dan antusias dalam
kehidupan belajar. Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang
menjalankan tugasnya dengan patut kepada anak-anak mereka. Mereka
begitu yakin bahwa anak membutuhkan suatu proses dan waktu untuk dapat
menemukan sendiri keistimewaan yang dimilikinya. Dengan kata lain
mereka percaya bahwa anak sendirilah yang akan menemukan sendiri
kekuatan didirinya. Bagi mereka setiap anak adalah benar-benar seorang
anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang juga berbeda dan unik!

"Perlu diketahui bahwa tiada satu pun yang lebih tinggi, atau lebih
kuat, atau lebih baik, atau pun lebih berharga dalam kehidupan nanti
daripada kenangan indah terutama kenangan manis di masa kanak-kanak.
Kamu mendengar banyak hal tentang pendidikan, namun beberapa hal yang
indah, kenangan berharga yang
tersimpan sejak kecil adalah mungkin itu pendidikan yang terbaik.
Apabila seseorang menyimpan banyak kenangan indah di masa kecilnya,
maka kelak seluruh kehidupannya akan terselamatkan. Bahkan apabila
hanya ada satu saja kenangan indah yang tersiampan dalam hati kita,
maka itulah kenangan yang akan
memberikan satu hari untuk keselamatan kita" (destoyevsky' s brothers karamoz).

FB, BB, dan Digital Colonization

Tahukah Anda? Peradaban Barat (dan juga sejumlah negara maju di belahan bumi lainnya) bisa maju disebabkan masyarakatnya secara lengkap telah mengalami berbagai tahapan kebudayaan secara linear dan utuh. Dari kebudayaan lisan, kebudayaan tulisan, kebudayaan baca, kebudayaan audio-visual (teve), dan sekarang kebudayaan cyber. Hal ini tidak dialami oleh bangsa Indonesia. Bangsa ini hanya mengalami kebudayaan lisan, lalu melompat ke kebudayaan audio-visual, dan sekarang termehek-mehek dengan kebudayaan cyber. Kebudayaan tulisan dan baca terlewat, dan sedihnya, terlupakan.

Bisa jadi, sebab itu ada perbedaan besar antara kebiasaan masyarakat Barat (dan masyarakat negara maju lainnya) dengan kebiasaan masyarakat Indonesia, salah satunya yang paling mudah dilihat adalah saat mengisi waktu luang, apakah itu sedang antre di bank, menunggu panggilan di loket rumah sakit, tengah menunggu kendaraan atau seseorang, sedang duduk di lobi hotel, atau sedang duduk di dalam kendaraan umum.

Di Barat dan di negara-negara maju, orang biasa mengisi waktu kosong atau waktu luangnya dengan membaca, apakah itu suratkabar, majalah, novel, atau buku non-fiksi. Jika bepergian kemana pun, mereka terbiasa selalu menyelipkan buku di dalam tas atau menentengnya di tangan. Sebab itu, bukan pemandangan aneh jika di dalam subway, di taman-taman, di halte bus, di depan loket berbagai instansi, di pinggir jalan, maupun di pantai, mereka selalu asyik mengisinya dengan kegiatan membaca.

Bagaimana dengan orang Indonesia? Silakan pergi ke tempat-tempat yang telah disebutkan di atas. Anda akan menemukan banyak sekali saudara-saudara sebangsa kita tengah asyik memainkan gadget mereka, bukan membaca. Sebab itu, Indonesia sejak lama menjadi pangsa pasar yang sangat menggiurkan bagi para produsen ponsel dunia. Bahkan konon, negeri ini telah menjadi semacam wilayah test pasar bagi produk-produk ponsel dunia teranyar. Dan setahun belakangan ini, ponsel dengan fasilitas chatting atau pun yang membenamkan kemampuan untuk bisa ber-fesbukan-ria laku keras. Blackberry-pun naik daun. Dan jangan heran jika di negara terkorup dunia dan nyaris masuk dalam kategori “Negara Gagal” ini ternyata bisa menjadi empat besar dunia dalam rating angka penjualan Blackberry. Blacberry dan Fesbuk telah menjadi trend masyarakat kita sekarang.

Digital Colonization

Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Demikianlah salah satu akibat dari trend digital sekarang ini. Fungsi asli dari FB dan situs jejaring sosial lainnya seperti halnya Friendster, Twitter, dan sebagainya adalah untuk membuat jaringan teman di dunia maya. Hal ini sangat bermanfaat bagi para marketer atau orang-orang yang memang diharuskan bergiat untuk berhubungan dengan banyak orang. Hanya saja, di Indonesia dan mungkin di negara lain, situs jejaring sosial ini malah menjadi trend yang sedikit banyak menggusur produktifitas nyata. Sekarang, lebih banyak orang menyukai melakukan kegiatan FB ketimbang membaca buku, kontemplasi, dan sebagainya. Padahal bagi kebanyakan orang, berfesbukan-ria tidak ada bedanya dengan ngerumpi dengan sesama teman di sekolah, pasar, atau pun kantor. Disibukkan dengan persoalan remeh-temeh. Wasting Time. Dengan sendirinya, produktivitas manusia menjadi menurun.

Kehadiran gadget hebat (dan mahal) seperti BB dengan media FB disadari atau tidak sekarang ini pada akhirnya hanya menjadi semacam simbol status. Di negara yang peradaban pengetahuannya sudah maju, penanda status sosial, apakah dia hebat atau tidak adalah buku. Semakin banyak buku yang dia baca maka semakin hebatlah dia di mata teman-temannya. Kredibilitas orang ditentukan oleh banyak sedikitnya pengetahuan yang didapat dari buku.

Namun di negara yang nyaris gagal seperti Indonesia terjadi parodi yang menyedihkan, penanda status sosial orang kebanyakan dilihat dari seberapa banyak dan canggihnya gadget yang kita tenteng, walau mungkin dia harus kredit untuk bisa memiliki itu. Ini sebenarnya merupakan pars pro toto, dari kecenderungan sebagian besar masyarakat kita yang memandang status orang, kredibilitas orang, status sosial orang lain, dengan sedikit banyaknya harta benda yang dimilikinya, tanpa perduli apakah dia bisa hidup kaya raya dengan merampok uang rakyat, menggelapkan uang umat, korupsi, dan sebagainya.

Hal ini menimbulkan efek domino, kian hari kian banyak orang yang ingin kaya raya dengan jalan pintas. Salah satunya dengan menjadi anggota legislatif misalnya, padahal dia sama sekali tidak mempunyai prestasi apa pun di masyarakat. Ini sesungguhnya merupakan mental bangsa terjajah.

Bagi kebanyakan orang di sini, bagi bangsa yang belum tersentuh budaya membaca dan lebih suka dengan kebudayaan mengobrol dan menonton, maka kehadiran BB dan FB dan semacamnya, tanpa disadari telah banyak merampas waktu berharga dalam hidupnya. Banyak orang rela berjam-jam untuk ber-BB atau ber-FB-ria, dan melupakan membaca buku, padahal waktu merupakan Pedang Democles, yang tanpa ampun akan membabat siapa saja yang tidak mengunakannya dengan baik. Inilah apa yang sebenarnya disebut sebagai Digital Colonization, penjajahan digital.

Pemakaian BB dan juga FB tidaklah salah. Bagi pekerja yang banyak menghabiskan waktu di jalan dan harus selalu connect dengan rekan-rekan kerjanya, atau bosnya, atau seorang profesional yang harus selalu online, maka BB adalah hal yang amat penting. Demikian juga dengan FB, sangat vital bagi para marketer atau orang yang harus berhubungan dengan banyak orang lainnya, atau publik figur misalnya. Di tangan mereka, BB dan FB menjadi salah satu alat penunjang prestasi yang memang penting. Dan saya yakin, orang-orang seerti ini tidak akan terjerumus dalam kemubaziran pemakaian waktu karena mereka tahu kapan harus memulai dan kapan harus berhenti.

Apakah Anda sekarang telah memiliki akun di FB? Jika sudah maka manfaatkanlah dia dengan baik, tepat, dan bijak, bukan sekadar untuk wasting a time. Membaca buku atau membaca Qur’an, jauh lebih berguna untuk mengisi waktu ketimbang ngobrol. Dan jika Anda belum memiliki akun di FB, berpikirlah seribu kali, apakah Anda sudah siap untuk itu? Apakah hal itu merupakan KEBUTUHAN Anda, dan bukan sekadar KEINGINAN? Janganlah waktu yang sedikit ini dipergunakan dengan sia-sia, penuh kemubaziran. Karena Allah SWT telah memperingatkan umat-Nya jika kemubaziran itu adalah perilaku saudara-saudaranya setan. Na’udzubillah min dzalik. (Rd)

Apa Pesan dari Ledakan Di Mega Kuningan?

Ketika ledakan itu terjadi, kami di Kompas.com menerima laporan dari sejumlah rekan. Menurut informasi yang kami terima secara cepat itu: telah terjadi dua kali ledakan di Mega Kuningan! Tentu saja kami, setidak-tidaknya saya pribadi saat menulis postingan ini, tidak berani menyatakan bahwa ledakan yang dimulai pukul 07.45 itu sebuah ledakan bom. Biarlah aparat kepolisian yang menentukannya. Demikian juga tujuan dari ledakan itu, saya belum bisa menyimpulkan secara tergesa-gesa.

Tetapi pertanyaan berbau asumsi boleh saja saya kemukakan di sini: apakah ledakan itu ditujukan pada kedatangan pasukan Manchester United (MU) yang akan bertandang ke Jakarta?

Jika itu benar sebuah ledakan bom, bagi saya itu meninggalkan pesan penting: sebenarnya kalau pelaku itu mau meledakkan bom di negeri ini, kapanpun bisa!

Mengerikan, bukan?

Persoalannya, mengapa mereka mengambil momen saat kedatangan MU di Indonesia? Bagi saya, inipun meninggalkan pesan kuat lainnya, yaitu mereka ingin menegaskan: bahwa kami (pembuat dan peledak bom alias teroris) masih ada di Indonesia! Sebuah pekerjaan rumah yang berat bagi aparat.

Bom dan ledakan dirancang untuk membuka mata dunia. Mata dunia kebetulan sedang tertuju ke Jakarta saat pasukan MU sebentar lagi datang dan bermarkas di salah satu hotel yang dekat dengan pusat ledakan: Hotel RC. Pada menit-menit pertama televisi menyiarkan adanya ledakan itu, tidak ada satupun kata “MU” yang keluar. Mereka tidak mau menautkan ledakan itu dengan kedatangan/keberadaan MU di Indonesia.

Mungkin atas ledakan itu, pasukan Sir Alex Fergusson karena alasan keamanan, batal hadir di Jakarta! Pecinta MU di Jakarta pun akan gigit jari! Bisnis bagi yang mendatangkan MU ke Indonesia pun hancur lebur karenanya.

Bagi perancang dan peledak bom, “pesan ledakan” ini haruslah sampai ke telinga dunia: bahwa kami (teroris) masih ada di Indonesia. Bahwa ledakan itu distel bersamaan dengan kehadiran MU di Indonesia, itu sesuatu yang dirancang dengan sengaja. Kalau tanpa embel-embel “MU” dalam ledakan itu, gaungnya tidaklah sedahsyat yang diharapkan (si pelaku).

Tinggallah kengerian yang tersisa dalam diri saya: mereka (teroris peledak bom) itu bisa melakukan aksinya di negeri tercinta ini kapanpun juga kalau mereka mau, tanpa harus menunggu MU! Bukan karena Indonesia aman dari ledakan bom, lebih karena mereka (teroris) belum mau saja meledakkannya.

Mudah-mudahan aparat keamanan lebih siaga!

Oleh Pepih Nugraha - 17 Juli 2009