Mushaf Alquran Ukir Raksasa dipamerkan di Masjid Agung Palembang




Akhirnya, setelah delapan tahun dikerjakan, ukiran ayat suci Alquran 30 juz berbahan kayu tembesu ukuran raksasa dipamerkan di Masjid Agung Palembang, Kamis (14/5) petang. Alquran yang dinamai Al Akbar ini disebut-sebut sebagai ukiran terbesar dan pertama di dunia.

Alquran dibuat dari ukiran khas Palembang, terdiri dari lembaran kayu setinggi 2 meter dengan lebar tak kurang 1,5 meter. Warna dasar kayu coklat dengan huruf arab timbul warna kuning. Tiap lembar ada ukiran motif kembang di bagian tepi. Warnanya juga kuning.

Tiap lembar memuat ayat Alquran bolak balik. Baru satu juz (surah Albaqarah) yang telah selesai. Satu juz itu berupa kayu yang berdiri tegak membentuk lingkaran dari sepuluh lembar kayu ukir. Ini bagian Alquran raksasa pertama yang terlihat ketika naik ke lantai tiga Masjid Agung tempat pameran.

Sedangkan lembaran lainnya masih terpisah-pisah disusun di rak, membentuk labirin dengan jarak 50 cm antar lembar. Ini memungkinkan bagi pengunjung untuk ikut melakukan koreksi, bila mana ada kesalahan penulisan huruf atau tajwid. Pameran dibuka setiap hari pukul 09.00-17.00.

H Sofwatillah Mohzaib SSos, pencetus ide dan desainer Alquran raksasa itu, mengatakan, sebelum diresmikan di tingkat nasional oleh Presiden SBY Juni nanti, umat muslim diundang untuk mengoreksinya sampai batas waktu 6 Juni. Panitia menyediakan Alquran, lembaran koreksi, dan pena.

“Silakan dikoreksi kesalahan mashab Quran Usmani, mungkin tajwidnya ada yang salah. Tapi tidak singgung seni tulisan Alquran,” katanya.

Opat, panggilan Sofwatillah, menambakan peluncuran Alquran raksasa itu rencana awal pada 2004 lalu berbarengan dengan PON XVI tapi tidak tercapai. Tim menemui banyak kendala yang ternyata lebih rumit dari perkiraan, terutama masalah dana.

Ketua panitia, RM HA Rasyidi, mengatakan, peluncuran Al Akbar 30 juz adalah salah satu penanda perkembangan kaligrafi Islam, dalam hal ini memperkenalkan ukiran khas Palembang.

Dana yang dihabiskan mencapai Rp 1,1 miliar terkumpul dari bantuan 32 donatur. Sejumlah tokoh Sumsel berperan banyak, di antaranya mantan gubernur, H Rosihan Arsyad, Taufik Kiemas, Asmawati, dan lainnya.

Peluncuran Alquran raksasa ini mendapatkan sambutan luar biasa dari umat muslim yang berkesempatan datang. Ada yang sujud syukur, mengabadikannya dengan foto berlatar Alquran raksasa itu, atau membacanya. Beberapa langsung meminta formulir koreksi.

Acara dihadiri para alim ulama, sesepuh, dan tokoh masyarakat, seperti Wakil Bupati Banyuasin H Rachman Hasan, Wakil Ketua DPRD Palembang Djauhari, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, Asmawati beserta tak kurang 300 umat muslim dan muslimah.

Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Sumsel, Drs H Najib Haitani, yang membuka pameran, mengatakan, Alquran raksasa itu adalah kebanggaan Sumsel karena di dunia ini adalah cetakan pertama. Keberadaannya bakal menarik minat orang dari negeri Arab.

“Kita harap ini juga memotivasi masyarakat untuk meningkatkan pemahaman isi Alquran dan menjadikannya hiasan hidup sehari-hari. Kami ucapkan terima kasih sekaligus penghargaan pada tim, para donatur, dan kyai,” katanya.

H Rachman Hasan, mengaku kagum pertama kali melihat Alquran itu.

Menurutnya, Sumsel khususnya Palembang, termasuk kota religius. Keberadaan Al Akbar menambah nilai religius itu dan (mungkin) dapat memotivasi masyarakat untuk lebih giat memperdalam Alquran. “Karena Alquran ini semua sumber hukum dan peraturan apa pun juga, termasuk budaya, ekonomi, pemerintahan itu ada di Alquran. Kalau kita baca saja maknanya tidak tahu, kan repot,” katanya.

Djauhari sependapat dengan Racham. Menurutnya Alquran itu adalah karya besar bagi bangsa Indonesia, khususnya Sumsel dan Kota Palembang. Alquran ini nantinya akan ditempatkan pada bangunan khusus, seperti Islamic Center.

“Ini bukan milik Kota Palembang dan Sumsel saja, tapi Indonesia. Dalam artian inilah umat muslim di Indonesia itu bukan saja memelajari lafaz Alquran, tapi juga ada seni beragama. Luar biasa itu,” katanya.

www.sripoku.com
www.republika.co.id

A Violinist in the Metro



A man sat at a metro station in Washington DC and started to play the violin; it was a cold January morning. He played six Bach pieces for about 45 minutes. During that time, since it was rush hour, it was calculated that thousand of people went through the station, most of them on their way to work.

Three minutes went by and a middle aged man noticed there was musician playing. He slowed his pace and stopped for a few seconds and then hurried up to meet his schedule.

A minute later, the violinist received his first dollar tip: a woman threw the money in the till and without stopping continued to walk.

A few minutes later, someone leaned against the wall to listen to him, but the man looked at his watch and started to walk again. Clearly he was late for work.

The one who paid the most attention was a 3 year old boy. His mother tagged him along, hurried but the kid stopped to look at the violinist. Finally the mother pushed hard and the child continued to walk turning his head all the time. This action was repeated by several other children. All the parents, without exception, forced them to move on.

In the 45 minutes the musician played, only 6 people stopped and stayed for a while. About 20 gave him money but continued to walk their normal pace. He collected $32. When he finished playing and silence took over, no one noticed it. No one applauded, nor was there any recognition.

No one knew this but the violinist was Joshua Bell, one of the best musicians in the world. He played one of the most intricate pieces ever written with a violin worth 3.5 million dollars.

Two days before his playing in the subway, Joshua Bell sold out at a theater in Boston and the seats average $100.

This is a real story. Joshua Bell playing incognito in the metro station was organized by the Washington Post as part of an social experiment about perception, taste and priorities of people. The outlines were: in a commonplace environment at an inappropriate hour:

Do we perceive beauty? Do we stop to appreciate it? Do we recognize the talent in an unexpected context?

One of the possible conclusions from this experience could be: If we do not have a moment to stop and listen to one of the best musicians in the world playing the best music ever written, how many other things are we missing?