Masyarakat Substantif

Pada tahun 2000, ketika saya mengajar di sebuah SMA boarding school di luar Jakarta, pihak sekolah mengundang seorang petinggi HRD (Human Resource Development) sebuah perusahaan terkenal di Jakarta. Murid-murid di sekolah saya yang pada umumnya memang anak orang-orang kaya menjadi begitu bersemangat pada hari orang itu datang ke sekolah. Mereka saling bertebakan, mobil apa yang kira-kira dikendarai oleh si sukses ini. Ketika ia datang dengan mengendarai Mercedes C-Class (pembaca tidak perlu bertanya lagi seperti apa penampilannya), murid-murid terkesima dan semakin yakin dengan keberhasilannya.

Yang membuat para pelajar dan guru benar-benar melongo adalah ketika ia bercerita tentang perjalanan karirnya dan berapa gajinya pada saat itu. Ia mengatakan bahwa gajinya pada saat itu 1 juta rupiah (kami sedikit kecewa saat mendengar angka yang jauh dibawah estimasi itu). Tapi rahang bawah para pelajar dan guru langsung turun ke bawah saat ia menyelesaikan penjelasannya. Gajinya 1 juta rupiah ... perjam (bukan perbulan). Jadi kalau dalam sehari dia bekerja selama delapan jam dan dia bekerja lima hari dalam seminggu, Anda bisa hitung sendiri berapa kira-kira penghasilannya dalam sebulan.

Semua itu mampu membuat murid-murid dan guru-guru takjub, kagum, dan mau mendengarkan apa saja yang ia katakan. Rasanya orang seperti ini tidak bisa salah lagi. Kami siap menelan bulat-bulat apa pun yang ia sampaikan.

Seperti itulah kecenderungan manusia, terutama pada masa belakangan ini. Tak perduli siapa Anda dan bagaimana akhlak Anda, tapi jika Anda punya uang banyak, punya rumah dan mobil bagus, dan penampilan Anda wah, maka orang-orang akan mendengar dan memperhatikan Anda.
Seorang profesor pernah ditolak oleh seorang penerima telepon, bahkan dimaki, hanya karena ia menyebut namanya tanpa embel-embel (ia dianggap orang biasa saja). Tapi begitu ia menelpon lagi dengan menyebut gelarnya secara lengkap berikut kedudukannya, Ia langsung dihubungkan dengan pimpinan di tempat itu.

Kalau Anda datang ke suatu tempat dengan mengendarai sebuah motor butut dibandingkan Anda datang ke tempat yang sama dengan mengendarai mobil bagus, maka besar kemungkinan sikap dan pelayanan yang Anda terima juga akan berbeda. Sikap orang bisa sangat berbeda karena tampilan luar yang ada pada seseorang, walaupun manusianya sebetulnya sama saja.

Dalam beberapa forum, saat menjadi pembicara, saya sering bertanya pada hadirin apa kira-kira pandangan mereka sekiranya saya hadir dengan memakai sandal jepit, kaos oblong, sarung sederhana, dan rambut yang tak tersisir ke ruangan itu. Apa pandangan orang-orang yang ada di ruangan itu? Apakah mereka mau mendengarkan saya? Para hadirin yang mendengar pertanyaan itu terdiam. Sebagian lainnya tersenyum. Barangkali mereka membayangkan bagaimana jadinya kalau benar-benar ada orang yang berpenampilan seperti itu masuk dan menjadi pembicara di dalam ruangan tersebut.

Pertanyaannya adalah, apakah substansi diri seseorang berubah hanya karena ia berpenampilan sederhana atau karena ia berpenampilan mewah? Apakah hakikat diri seseorang menjadi lebih buruk hanya gara-gara ia terlihat miskin? Dan apakah seseorang menjadi lebih baik hanya karena ia berpakaian rapi dan mengenakan asesoris mewah dan bermerek?

Bukankah yang melekat di badan serta apapun yang kita kenakan, sejelek atau sebagus apapun, hanyalah kulit, casing, lipstick, bungkus, dan tampilan luar belaka? Lalu mengapa tampilan luar ini bisa mengubah pandangan dan sikap seseorang terhadap orang lain? Mengapa orang yang mengendarai mobil bagus, mengenakan pakaian dari brand ternama, ataupun orang yang mengenakan perhiasan mahal menjadi lebih dihargai dibandingkan orang yang mengenakan atribut sederhana, walaupun hakikat kemanusiaannya sebetulnya masih yang itu-itu juga?

Pertanyaan ini menjadi sulit dijawab ketika kita berkaca pada masyarakat bermental ’bungkusan,’ masyarakat lipstik (lipstick society), yaitu masyarakat yang pandangannya melulu tertuju pada tampilan luar. Masyarakat yang lebih menghargai bungkus ketimbang isi.

Ya, kita memang tengah hidup di tengah masyarakat semacam itu. Masyarakat pemuja materi, dimana saja dan kapan saja, memang cenderung menghargai manusia dari atribut yang dikenakannya, bukan dari kualitas diri seseorang. Yang agak terselamatkan dari ciri-ciri ini barangkali hanya kalangan masyarakat yang lebih menghargai nilai-nilai relijius dan intelektualitas saja, atau juga komunitas seniman yang memang tidak begitu perduli dengan soal penampilan luaran. Selebihnya larut dalam mental bungkusan. Kalau Anda tidak kaya, tidak popular, atau tidak mengikuti mode, maka Anda bukan siapa-siapa.

Perhatian yang terlalu berlebihan terhadap aspek luaran menyebabkan munculnya angka-angka fantastik dalam upaya manusia membungkus dan menopengi dirinya sendiri. Beberapa angka berikut mungkin bisa memberi sedikit gambaran tentang fenomena yang melanda manusia modern. Pada tahun 2006, masyarakat Amerika diperkirakan menghabiskan $ 14 miliar hanya untuk memerangi keriput di wajah mereka yang mulai menua (Timeonline, 31 Oktober 2006).

Pada tahun 2007, ada 7.882 operasi pembesaran payudara yang dilakukan oleh remaja Amerika, meningkat 55% dibandingkan tahun sebelumnya (Timeonline, 13 Maret 2008). Adapun perempuan yang melakukan operasi payudara pada tahun 2006 (mungkin ini di seluruh dunia) diperkirakan mencapai 57.000 orang (Newyorktimesonline, 22 Desember 2008). Angka penjualan kosmetik dunia untuk tahun-tahun belakangan ini mencapai 234 miliar dolar setiap tahunnya (Newsweek, Desember 1999 – Februari 2000: 69). Hal yang sama juga berlaku di berbagai belahan dunia yang lain. Bahkan di Indonesia sempat didapati beberapa artis terjebak menjadi pelanggan seorang ’ahli kecantikan’ gadungan.

Masyarakat modern betul-betul terobsesi akan penampilan mereka. Bukan hanya bagi kalangan wanitanya, tapi juga kalangan pria. Kini kita mengenal sebuah istilah yang menggambarkan kalangan pria modern yang sangat memperhatikan penampilan mereka: pria metroseksual. David Beckham merupakan salah satu ikon istilah baru ini. Istilah metroseksual muncul untuk menggambarkan pria-pria modern yang rajin pergi ke salon secara rutin untuk menjaga penampilan mereka serta selalu mengikuti mode yang tengah berkembang. Saya lebih suka menyebutnya ’pria pesolek.’ Semua itu dilakukan demi meningkatkan penampilan dan memoles citra diri di depan publik.

Citra (image) pada masa sekarang ini tampak seperti segala-galanya. Citra berbeda dengan substansi. Ia mungkin bisa mewakili sebuah substansi, tapi bisa juga menampilkan hal yang jauh berbeda dari keadaan yang sebenarnya. Citra adalah gambaran atau kesan dari sesuatu. Persoalannya adalah, hal yang paling dulu dan paling cepat ditangkap dalam proses pencitraan adalah bagian luarnya. Apa yang ada dibagian luar akan memberi kesan paling cepat, dan mungkin juga paling kuat. Kalau substansi dari sesuatu ternyata berbeda dan akhirnya mengemuka, maka citra atau kesan atas sesuatu akan ikut berubah. Hanya saja, pada zaman modern ini, berkat bantuan media massa, kesan yang positif bisa terus dihadirkan di benak masyarakat, terlepas dari substansinya yang bermasalah.

Makanan-makanan junk food yang ditawarkan restoran-restoran siap saji bisa menyebabkan obesitas dan tekanan darah tinggi. Namun makanan-makanan ini dicitrakan secara berbeda, maka orang-orang pun terus berdatangan ke restoran-restoran siap saji dan menganggapnya sebagai gaya hidup yang pantas. Minuman-minuman bersoda bisa merusak tulang dan gigi serta memiliki banyak kelemahan lainnya. Namun minuman-minuman ini dicitrakan secara berbeda, maka orang-orang pun merasa hidup ini tidak lengkap sekiranya mereka belum mengkonsumsinya.

Rokok bisa menyebabkan kanker, serangan jantung, dan berbagai penyakit mematikan lainnya. Masyarakat secara umum sudah mengetahuinya. Namun perusahaan-perusahaan rokok memiliki terlalu banyak uang untuk mengemas pencitraan produk-produk mereka. Maka orang-orang terus saja membelinya dan merasakan kesan yang hebat ketika menghisapnya.

Di jaman modern ini, sesuatu yang sudah bernilai positif sekalipun sulit untuk meraih sebuah prestasi sekiranya tidak didukung oleh citra yang kuat. Apakah seorang calon presiden Amerika Serikat, atau calon presiden di negara-negara lainnya, dengan kapasitas yang luar biasa sekalipun, akan terpilih sekiranya ia tidak menjaga penampilannya dengan baik? Rasanya ini mustahil terjadi di negara-negara maju dan demokratis. Karakter dan kepribadian seseorang memang penting, tapi citra tetap dianggap segala-galanya.

Kebalikan dari hal di atas, rasanya sungguh menakjubkan saat kita mempelajari sejarah awal kaum Muslimin, yaitu masyarakat yang telah dibentuk oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam di Madinah dan sekitarnya. Mereka betul-betul menghargai manusia berdasarkan kualitas dirinya, tanpa memandang atribut yang dikenakannya. Bukan berarti Islam sama sekali tidak memandang penting penampilan seorang Muslim. Islam sangat menghargai kebersihan dan kerapihan, serta keindahan.

Dalam salah satu hadithnya, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.” Kendati demikian, penilaian utama atas diri seseorang tetaplah ditujukan pada kualitas diri manusianya, bukan pada tampilan luarnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang sangat menjaga kebersihan dan kerapihan, dan beliau sangat menyukai wangi-wangian. Namun, beliau tidak pernah berusaha membangun pencitraan diri melalui kekayaan, popularitas, ataupun tampilan luar. Beliau ada sosok manusia yang substantif, jauh dari kepura-puraan, dan tidak merasa perlu mengenakan topeng atau bungkus tertentu di sekitar dirinya untuk menimbulkan kesan tertentu pada orang lain. Beliau hidup sederhana, tinggal di rumah yang sederhana, tidur dengan alas yang sederhana, bergaul dengan manusia secara apa adanya. Beliau bergaul dengan yang kaya dan yang miskin, yang tampan maupun yang tidak, yang sehat maupun yang cacat. Beliau tidak melihat kelebihan pada penampilan luar seseorang, tetapi lebih menghargai akhlak dan keimanan mereka.

Beliau pernah marah ketika kaki atau warna kulit (keadaan fisik) sahabatnya ditertawakan atau dicela. Beliau segera menyempatkan berziarah kubur dan melakukan shalat ghaib ketika mengetahui seorang berkulit hitam yang biasa membersihkan masjid meninggal dunia (walaupun ia bukan orang yang penting). Beliau pernah mengabarkan tentang seorang yang termasuk sebagai ahli surga dan ternyata orang yang dimaksud adalah seorang yang tidak dikenali oleh orang-orang yang hadir (tidak populer). Beliau menyampaikan kepada umat ayat-ayat al-Qur’an, termasuk yang merupakan teguran dari Allah terhadap diri beliau. Beliau tidak berusaha menutup-nutupinya demi menjaga citra.

Hal ini juga diikuti oleh para sahabatnya yang mulia. Ketika diangkat menjadi khalifah sepeninggal Nabi, Abu Bakar ra tidak merasa sungkan untuk pergi ke pasar demi mencari nafkah, karena ketika itu belum ada ketentuan tentang gaji pemimpin negara Islam. Setelah disepakati adanya gaji untuk khalifah barulah Abu Bakar berhenti berjualan di pasar dan mencurahkan seluruh waktunya untuk umat. Umar ibn Khattab ra, ketika menjabat sebagai khalifah, pernah membuat heran penduduk Yerusalem ketika kota tersebut baru saja ditaklukkan kaum Muslimin.

Pasalnya Umar memasuki kota Yerusalem dalam keadaan berjalan kaki sambil membimbing untanya yang sedang dinaiki oleh budaknya, sehingga orang-orang bingung siapa khalifah yang sebenarnya. Salman al-Farisi menginfakkan hampir seluruh gajinya ketika menjabat sebagai gubernur Persia dan mencari penghidupan dari menganyam pelepah kurma. Beliau juga pernah berlalu di sebuah jalan dan diminta mengangkat barang oleh seorang pendatang yang baru memasuki kota tempat beliau berdinas karena ia mengira Salman hanya orang biasa atau seorang pekerja kasar. Dan Salman membantu mengangkat barang-barang orang itu sampai ke tempat tujuannya tanpa merasa sungkan. Mereka semua tidak merasa takut citra diri mereka rusak karena penampilan mereka yang tidak berbeda dengan orang-orang pada umumnya.

Mereka adalah manusia-manusia esensial, manusia yang mendahulukan substansi ketimbang citra (image).

Ada begitu banyak contoh lain yang bisa kita hadirkan. Tapi biarlah kita menutupnya dengan sebuah kisah. Suatu kali seorang ulama berhadap-hadapan dengan seorang kaya yang sombong. Orang kaya itu tidak suka dengan sikap si ulama yang tidak memuliakan dirinya. Maka ia pun menggertaknya dan bertanya dengan sombong, ”Apakah kamu tidak tahu siapa saya?” Maka si ulama menjawab dengan tenang. ”Saya tahu siapa kamu,” ujarnya mantap. ”Kamu ini dulunya air mani yang hina, sekarang perut kamu berisi kotoran, dan suatu saat nanti kamu akan menjadi bangkai.”

Demikianlah si ulama mendeskripsikan biografi si sombong itu sekaligus, sejak dulu, sekarang, hingga ke masa depan nantinya. Seperti itulah esensi seseorang jika ia hanya memperhatikan dan membanggakan aspek fisiknya. Bagian luarnya mungkin cantik dan menarik, tapi isi perutnya sebetulnya hanya kotoran. Ia boleh jadi kaya raya, tapi pada hakikatnya ia berasal dari sesuatu yang tidak berharga (air mani) dan akan berakhir menjadi sesuatu yang juga tidak berharga (bangkai).
Kita mesti menyadari bahwa hakikat kemanusiaan kita yang paling penting adalah aspek dalaman berupa keimanan dan akhlak yang mulia. Inilah yang menjadi inti diri seseorang, hal yang menjadi substansinya.

Sungguh kita merindukan kembalinya masyarakat substantif, masyarakat yang menghargai penampilan yang baik dan tidak berlebihan, tetapi tetap menomorsatukan aspek dalaman seorang manusia. Kita merindukan masa ketika orang-orang tidak lagi melihat kita dari pakaian yang kita kenakan, merek jam yang kita pakai, mobil yang kita miliki dan kendarai, luas dan kemewahan rumah yang kita tinggali. Kita merindukan kembalinya masyarakat substantif, masyarakat yang lebih mementingkan isi dan kualitas diri manusia berupa akhlak dan perilaku yang baik. Semoga masa itu segera datang kepada kita.

Kuala Lumpur,
21 Agustus 2009

Alwi Alatas,
Mahasiswa PhD jurusan Sejarah dan Peradaban Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (S1 jurusan Sejarah Univ. Indonesia, S2 jurusan Sejarah Univ. Islam Antarabangsa Malaysia)& penulis buku. http://alwialatas.multiply.com

Tanda Puasa Berhasil

Jakarta -Kita telah mengetahui semua, bahwa ibadah puasa yang diwajibkan kepada kita bertujuan membentuk manusia yang bertakwa. Takwa adalah puncak derajat seorang hamba di hadapan khaliq-Nya.

Makna ketakwaaan seringkali kita uraikan dalam rangkaian kata yang luas dan abstrak. Karena luasnya pemaknaan, seringkali kita malah tidak bisa menjadikannya sebagai patokan.

Dari sekian banyak penguraian makna bertakwa, maka sesungguhnya ada yang bisa kita jadikan pengukur keberhasilan kita berpuasa. Sekurang-kurangnya ada tiga ukuran sederhana untuk mengukur apakah puasa kita telah berhasil.

Yang pertama adalah, apakah selama berpuasa di bulan Ramadan ini, jumlah konsumsi makanan dan minuman kita lebih sedikit? Atau untuk mudahnya, apakah volume makanan dan minuman yang kita nikmati selama Ramadan ini lebih rendah di banding bulan lain?

Jika ternyata jumlah konsumsi makanan dan minuman yang kita nikmati selama Ramadan ini sama atau lebih banyak dari bulan yang lain, berarti puasa kita belum berhasil.

Alat ukur sederhana yang kedua dari keberhasilan kita berpuasa adalah jumlah berat badan kita. Apabila berat badan kita tidak berkurang selama puasa Ramadan ini, berarti puasa kita belum berhasil. Sebab jika kita berpuasa dengan benar, berarti terjadi pengurangan jumlah konsumsi makanan kita.

Karena biasanya kita makan tiga kali sehari, sementara selama bulan puasa ini kita hanya makan dua kali sehari, yaitu pada saat sahur dan berbuka. Padahal mengendalikan nafsu makan adalah salah satu hawa nafsu paling dasar yang harus kita kuasai selama kita berpuasa.

Apalagi kalau ternyata kemudian justru pada bulan Ramadan berat badan kita meningkat, maka bisa dipastikan bahwa kita adalah makhluk 'pendendam'. Siang hari kita tahan nafsu makan kita, tetapi malam hari, nafsu itu tumpah tak terkendali, bahkan cenderung liar. Ini artinya bahwa puasa kita belum berhasil.

Tanda ketiga bahwa puasa kita berhasil adalah zakat (fitrah), infak dan amal sosial lainnya. Logika sederhana yang bisa mendasari tanda ketiga ini adalah bahwa karena selama Ramadan kita makan dari tiga kali menjadi dua kali.

Artinya, setiap hari kalau kita berpuasa dengan benar telah menghemat satu kali makanan. Bahasa sederhananya setiap hari kita menabung senilai satu kali makan. Sehingga di akhir bulan Ramadan akan sangat mudah bagi kita untuk berzakat fitrah 3,5 liter beras. Karena kita sudah menabung 30 hari (30 kali) genggam beras. Bahkan lebihnya bisa kita jadikan sebagai sedekah kepada kaum dhuafa.

Belum lagi bila kita kaitkan dengan didikan rasa lapar dan haus yang kita rasakan selama kita menjalani puasa Ramadan, akan menimbulkan empati dan solidaritas sosial kepada mereka yang sangat sering hari-harinya merasakan lapar dan haus. Dengan puasa Ramadan seharusnya begitu mudah hati kita tersentuh oleh penderitaan mereka yang tidak berpunya.

Apalagi kepada mereka yang saat ini hidup di kawasan bencana seperti kawasan lumpur Lapindo. Mereka ini selain menderita karena kehilangan rumah tinggalnya, mereka pun ketiadaan sumber pangan pada bulan suci yang mulia ini.

Pada bulan Ramadan ini, marilah kita tingkatkan kualitas puasa kita. Sekaligus mengisinya dengan memperbanyak amal sosial untuk membantu saudara kita yang kekurangan.

Ahmad Juwaini - detikRamadan
*) Ahmad Juwaini adalah Executive Director Dompet Dhuafa