kompromi kepribadian dalam pernikahan

Suami istri yang tipe kepribadiannya bertolak belakang, tanpa kompromi bisa terus konflik. Mau terus konflik atau berdamai, modal awalnya pahami dulu tipe kepribadian masing-masing.

Cuma gara-gara mencet odol dari tengah saja bisa memicu genderang perang, lho. Punya pasangan yang cenderung dan terlatih untuk hidup teratur biasanya tetap akan mempertahankan kebiasaannya setelah menikah. Ia terbiasa memencet odol dari ujung, bukan dari tengah. Melipat koran dengan rapi dan meletakkan pada tempatnya setelah membaca, otomatis mengelap dan menyapu kotoran begitu ada sampah, dan selalu memakai piyama saat tidur. Semua serba teratur dan rapi. Bayangkan bila pasangan hidupnya cenderung santai dan slebor. Tanpa ada yang mau mengalah, tentu saja keduanya akan tersiksa.

Salah satu cara mengatasi masalah ini adalah dengan mengenali kepribadian masing-masing. Ada banyak alat yang bisa dipakai untuk memahami kepribadian, salah satunya dikembangkan oleh Katharine Briggs dan Isabel Myers pada masa perang dunia II. Pasangan ibu dan anak asal Amerika itu mengembangkan teori kepribadian dari konsep Carl Gustav Jung, Psikolog asal Swiss dan melahirkan Myers Briggs Type Indicator (MBTI). Walaupun pada awalnya indikator ini digunakan untuk dunia kerja, namun dalam perkembangannnya ukuran ini bisa dipakai pada berbagai aspek kehidupan, termasuk perkawinan. Ada 16 tipe kepribadian MBTI, yang menjadi petunjuk kepribadian seseorang, tentu setelah sebelumnya melalui suatu tes.


PAHAMI DIRI DULU, BARU PASANGAN.

Ita Dekrita Azli, Psi. Psikolog Klinis yang memiliki lisensi internasional untuk MBTI di Indonesia, mengatakan bahwa di dalam mencari pasangan hidup orang cenderung mencari pasangan hidup yang memiliki kemiripan dengannya. Namun, faktanya banyak pasangan yang tipe kepribadiannya berbeda sama sekali. Maka mau tak mau harus dilakukan kompromi agar perkawinan bisa berjalan. "Idealnya yang menjadi kekurangan suami jadi kelebihan istri. Sebaliknya, yang menjadi kekurangan istri jadi kelebihan suami. Jadi klop, saling melengkapi " tutur perempuan dengan tipe kepribadian ENFJ ini.

Bukan jaminan pula orang yang sama atau mendekati tipe kepribadiannya bisa langsung harmonis. Bisa jadi, pasangan yang tipe kepribadiannya sama malah jadi membosankan. " Istri ESTJ, suaminya ESTJ juga, bayangan kita pasangan ini harmonis, nggak bakal banyak permasalahan. Padahal, tidak juga, " urai ibu dari satu anak ini.

Ita mengingatkan, setiap pasangan perlu memahami hakikat bersatunya setiap pribadi dalam pernikahan. Pertama, bersedia menerima pasangan apa adanya. Kedua, lebih menghargai padangan kita. Ketiga, saling menghormati. Jadi, pasangan suami istri yang memiliki kecenderungan teratur, sementara yang satunya santai sebagaimana diatas, tidak mungkin hubungan bisa harmonis tanpa kompromi dengan melakukan ketiga hal di atas.

Namun, sebelum bisa memahami orang lain, kita harus memahami dirinya sendiri dulu. Dengan memahami kecenderungan, cara berpikir dan bertindak kita, barulah kita bisa memahami orang lain. " sejauh mana kita bisa menerima diri kita apa adanya, menerima dari segala kelebihan dan kekurangan diri kita. Karena kalau dengan diri sendiri saja kita masih berkonflik, kemungkinan besar kita juga akan mudah berkonflik dengan orang lain, terutama pasangan kita, " papar lulusan S-2 Psikologi UI ini.


KOMPROMI UNTUK SALING MEMBAHAGIAKAN

Ita menjelaskan bahwa sebenarnya dengan 16 tipe kepribadian MBTI itu kita akan lebih memahami dinamika tipe setiap individu. " tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk, semua punya keunikan sendiri " katanya. Masing-masing punya tantangan tersendiri untuk beradaptasi.

Dengan melakukan tes, hasilnya lebih jelas. Ita mencontohkan, bisa jadi dalam mengambil keputusan, suami maupun istri sama-sama cenderung ke Feeling. Namun, unsurnya bisa berbeda. Misalnya, istrinya sangat jelas (clear) unsur F, sementara sang suami ringan (like) saja. Untuk pasangan tersebut, cara mereka dalam mengambil keputusan tergambar jela lebih mempertimbangkan perasaan ketimbang logika. Pasangan ini sering mengalami hambatan komunikasi, karena masing-masing lebih menahan perasaannya daripada langsung mengungkapkannya. "tapi, kalau sudah marah bisa sangat emosional," jelas perempuan yang hobi belajar bahasa asing ini.

Lain lagi bila kecenderungannya berbeda. Misal, yang satu ke arah Feeling, sementara pasangannya Thinking. Siapa yang mau mengalah ? umumnya, yang Feeling lebih banyak mengalah. Atau, buat yang gaya hidupnya biasa teratur (Judging), sulit beradaptasi dengan ketidakteraturan (Perceiving). Tapi, demi keharmonisan harus ada yang menurunkan kadarnya. Mungkin masih tetap perceive, tapi kadarnya sudah menurun.

Ita menegaskan bahwa perbedaan tidak akan selalu membuat konflik meruncing. Justru dengan segala perbedaan itu kita harus membantu dan bekerja sama satu sama lain. Dengan mengetahui kecenderungan seseorang, kita juga bisa tahu bagaimana caranya membahagiakan pasangan kita. Bagi orang yang berindikasi Feeling, ungkapan sayang secara verbal ataupun perilaku sangat penting untuk kebahagiaannya. Namun, untuk pasangan yang cenderung Thinking, tidak terlalu mementingkan hal itu. " kita mesti memahami bahwa kita punya lingkaran komunikasi. Jadi kalau tipe kita ada disini, pasangan kita ada di sana berarti memang masing-masing pasangan harus bersedia untuk saling mendengarkan kemudian baru kita bahas sama-sama, " kata Ita.

Yang tak boleh diabaikan pula adalah rasa keikhlasan pada setiap pasangan untuk menerima satu sama lain apa adanya. Dari berbagai konseling yang ditanganinya, Ita menyimpulkan banyak pasangan bermasalah karena kurangnya keikhlasan, ingin pasangannya berubah, sementara dirinya sendiri tidak mau berubah. Akhirnya jadi masalah dan konflik terus menerus. " Nah, ilmu ikhlas inilah yang barangkali juga perlu kita kembangkan, " imbuhnya.

Memang tidak ada manusia yang sempurna. Dengan memahami diri sendiri dan pasangan, kita bisa saling mengisi. Jadi, mana yang penting dan tidak pun bisa dikompromikan. " Penting mana antara pakai piyama dan keseriusan cintanya ? "jawabannya ada pada kompromi masing-masing pasangan. Yuk, kita kompromikan.

REF : MAJALAH UMMI, MARET-JUNI 1429 H

No comments: