Dalam sebuah situs  Katolik di Amerika, terdapat artikel berjudul The Evil of Liberalism,  ditulis oleh Judson Taylor, tokoh besar Missionaris. Artikel itu ditulis  pada awal abad ke-19 (1850an), dalam sebuah buku kumpulan essai  berjudul An Old Landmark Re-Set diterbitkan ulang tahun 1856 dengan  editor Elder Taylor. Di dalam pengantarnya editor situs itu menulis  bahwa misi yang disampaikan artikel itu lebih cocok untuk kita pada hari  ini. Sebab perkembangan liberalisme ke agamaan, akhir-akhir ini  benar-be nar menakjubkan orang tapi seluruh nya destruktif bagi kitab  suci Kristen.
Makalah itu dimulai dengan pernyataan tegas  “Liberalisme telah menggantikan Persecutiton”. Persecutiton artinya  panganiayaan atau pembunuhan. Dalam tradisi Kristen penganiayaan terjadi  karena adanya keyakinan yang menyimpang (heresy) dalam teologi. Artinya  liberalisme sama dengan penganiayaan. Hanya saja, lanjutnya, jika  Persecution membunuh orang, tapi menyuburkan penyebabnya, maka  liberalisme membunuh sebabnya dan menyuburkan pikiran orang. Dalam  artian liberalisme memenangkan akal manusia daripada firman atau ajaran  Tuhan.
Memang dalam sejarah agama Katolik, Persecution atau yang  lebih hebat lagi inquisition merupakan alat pembela kebenaran agama.  Cara ini, kata Judson Taylor, lebih disukai dari pada daripada kompromi  Kebenaran versi liberal. Kompromi kebenaran mungkin sekarang ini menjadi  relativisme yang mengakui semua benar meskipun salah satunya salah. Itu  pun tidak konsisten. Dalam banyak kasus, orang liberal yakin bahwa  Bible banyak masalah sedangkan kebejatan moral zaman ini malah tidak  masalah.
Judson nampaknya belum curiga pada paham nihilisme atau  pluralisme pemikir liberal. Sebab memang, ketika artikel ini ditulis,  pemikiran Nietzsche masih sedang mencari bentuknya, dan faham pluralisme  agama masih belum lahir. Dalam bahasa Judson, kaum liberal lebih  cenderung permisif alias bersahabat dengan semua sekte dan kemunkaran.
Blunder  yang terbesar di zaman ini, kata Judson, adalah mengakui liberalisme  yang mendukung kesesatan demi persatuan (union). Padahal persatuan  (kebenaran dan kesalahan) yang dimaksud liberal itu justru akan berakhir  dengan kekacauan. Selain itu, cara berfikir liberal yang konon netral  dan rasional itu ternyata memihak juga.
Akhirnya, Judson membuat  ciri-ciri liberalisme keagamaan menjadi tujuh tapi yang utama ada enam:  Pertama banyak mengingkari firman Tuhan. Kedua mengakui berbagai  kesalahan di zamannya dan juga kebenaran. Tapi lebih banyak mengakui  kesalahan. Ketiga, mengakui Tuhan hanya sebatas untuk kepentingan  kemanusiaan, ketika ajaran Tuhan tidak dapat diterima maka akal manusia  dimenangkan. Keempat, tidak ada yang mutlak dan pasti tentang Tuhan.  Kelima, mempromosikan keraguan beragama yang tidak berarti. Keenam,  mendukung keyakinan keagamaan dan prakteknya yang popular.
Orang  yang berpikir liberal umumnya hanya ingin menghargai pemikiran bebas.  Bebas dari kepercayaan yang dianggap membelenggu. Aroma humanisme begitu  menonjol. Sebab manusia menjadi ukuran segala sesuatu (man is a measure  of everything).Gejala liberalisme di alam pikiran Kristiani abad ke-19  itu sudah nampak jelas kesamaannya dengan liberalisasi pemikiran Islam  di dunia Islam saat ini.
Pertama, Muslim liberal menggugat  Alquran. Kedua Muslim liberal membela aliran sesat. Ketiga, Muslim  liberal mendahulukan akal dan kemanusiaan daripada Tuhan. Keempat,  Muslim liberal mendukung faham relativisme. Kelima, Muslim liberal  mempromosikan faham skeptisisme. Ketika kami ceramah pemikiran di  Surabaya, seorang audien yang kebetulan mualaf tiba-tiba menyalami kami.  Ia lalu meyakinkan kami bahwa liberalisasi pemikiran dalam Islam tidak  jauh beda dari pengalamannya dalam Katolik.
Ucapan mualaf  tersebut tidak perlu banyak bukti. Cukup dari pernyataan seorang  mahasiswa liberal yang menyatakan bahwa agar Islam maju, maka tirulah  Protestan. Itulah, liberalisme yang nama dan substansinya merupakan  hasil adopsi total konsep-konsep Liberal Barat. Jika, dijustifikasi  menjadi Islam liberal maka itu berarti Islam yang mem-Barat.
Sumber: Dr  Hamid Fahmy Zarkasyi (Direktur INSISTS)