sayangnya ayah pada putrinya itu sepenuh jiwa |
tak mampu dilukis atau diwakilkan kata-kata
bagi ayah, senyum putrinya itu penghapus murka dan letih lelah |
airmata putrinya jadi siksa baginya dan sedih putrinya jadi musibah
seorang ayah punya sejuta impian untuk putrinya |
walau harus mengorbankan dirinya dia selalu rela
bagi ayah pelukan ikhlas putrinya menyambutnya |
bisa jadi lebih berarti dan lebih indah dari bahagia
tidakkah engkau lihat ayah saat menikahkan putrinya |
di hadapan ramai bahkan ia tak dapat tahankan airmata
dipandanginya putrinya dalam-dalam dengan tatapan mengharu biru |
terbayang jelas semua kenangan mulai putrinya lahir hingga saat itu
segala bentak dan tawa, segala bahagia dan kecewa, semuanya |
mendadak terpampang jelas, melekat tak mau lepas, semuanya
bertahun-tahun ingatan itu menjadi satu, mendadak ayah sesalkan |
tentang apa yang tak sempat ia lakukan, tentang apa yang ia lewatkan
dan saat itu dia menyadari dalam hidupnya sampai masa ini |
tak ada pelepasan yang lebih berat melebihi hari ini
mungkin seorang ayah takkan pernah siap untuk menikahkan anaknya |
takkan pernah siap untuk melepaskan bagian dari darah juga jiwanya
bila bukan karena perintah Allah dan sunnah Rasulullah |
tentu selama-lamanya ia ingin bersama putrinya
tapi putrinya juga harus bercerita, harus berkeluarga |
dan melaksanakan ajaran ayahnya dalam realita nyata
kini tangan lelaki lain yang diridhai putrinya sedang ia genggam |
dan hati sang ayah masih gundah, matanya terpejam
yang ayahnya pikirkan |
"akankah lelaki ini tepat bagi putriku? akankah ia bisa menjaga putriku sebagaimana aku?"
yang ayahnya pikirkan |
"akankah lelaki ini memperlakukan putriku
seperti aku? menyayanginya tanpa syarat, mengajarinya tanpa penat?"
yang ayahnya pikirkan |
"akankah lelaki ini menyayangi putriku seperti aku? rela berkorban seperti aku pada putriku?"
yang ayahnya pikirkan |
"adakah lelaki ini mencintai Allah diatas
segala-galanya? adakah dia mampu mengawal putriku menuju surga Allah?"
seribu tanya berlanjut, dan mungkin tiada jawaban |
sebagaimana kasih
seorang ayah pada putrinya, yang mungkin takkan pernah terjelaskan
bila ada yang paling berhak untuk dimintai izin akan anaknya |
maka yakinlah itu jelas ayahnya, pasti ayahnya!
You are on stolen land!
You took our houses, villages,
cities, fields and orchards.
You pushed us into the desert.
You
surrounded us with barbed wire.
You starve us and you kill us simply to
suit your political ambitions.
So this rocket is a message to you all.
Think about us and then look at yourself in the mirror. Enough is
enough!’
For more than six decades the Israelis have dismissed this message.
They surrounded themselves with ghetto walls and have sealed their skies
with an Iron Dome. However, with Tel Aviv now under attack, Israel and
Israelis have been confronted with their original sin.
SETELAH perang dunia pertama (1914-1918), ada harapan besar
untuk perubahan di Italia. Melihat suksesnya kaum pekerja di Rusia
menggulingkan kekejaman rezim Tsar, rasa optimisme menjalar dalam
semangat rakyat kelas bawah, bahwa perubahan yang sama akan terjadi di
Italia. Pertentangan antara kelas penguasa dan rakyat meningkat sengit,
sementara rakyat aktif bergerak dengan berkumpul, mogok dan demonstrasi.
Di tengah intensitas ‘kekacauan’ ini, kelas penguasa bangkit dan,
dengan memanfaatkan sentimen nasionalisme, berjanji akan memulihkan
ketertiban dan keamanan dan mengembalikan kemakmuran bangsa. Mereka
menang dan berhasil menempatkan rezim fasis di bawah kepemimpinan Benito
Mussolini. Masyarakat umum dan aktivis, yang tadinya aktif,
terkooptasi. Ada yang diintimidasi para penguasa, ada juga yang terpikat
oleh daya tarik retorika fasis. Dari balik penjara, Antonio Gramsci,
salah satu aktivis yang menentang penguasa, menghabiskan waktunya
memikirkan kegagalan pergerakan rakyat ini. Mengapa dan bagaimana,
Gramsci bertanya, pergerakan yang sangat berpotensi ini bisa digagalkan
oleh kelas penguasa?
Pemilu 2014 di Indonesia diliputi perasaan yang mirip dengan masa
‘kekacauan’ yang dihadapi Italia, tepat sebelum rezim Mussolini
berkuasa. Setelah tumbangnya rezim Suharto enam belas tahun silam,
semangat perubahan reformasi mulai diliputi rasa pesimis. Sementara
wajah-wajah Orde Baru kembali bermunculan dalam panggung politik
bersekutu dengan sebagian para elit reformasi. Sementara itu, sebagian
mantan aktivis 1998 yang dulu menentang orde baru berbondong-bondong
berbalik mendukung persekutuan ini. Bagaimana kita memahami konfrontasi
politik antara berbagai kelompok—pro Prabowo, pro Jokowi dan
Golput—sebagai potret masyarakat kita saat ini dan bagaimana pemahaman
ini membantu kita menjelaskan kebutuhan pergerakan sekarang?
Enam dari total sembilan tahun masa pemenjaraannya,Gramsci
menghabiskan waktunya untuk bergelut dengan pertanyaan di atas. Konsep ‘hegemoni’ adalah salah satu buah pikiran yang ia kembangkan dalam Prison Notebooks untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hegemoni, menurut Gramsci, adalah kepemimpinan politik berdasarkan konsensus (consent),
atau persetujuan, mereka yang dipimpin. Konsensus ini didapatkan dengan
menyebarkan dan mempopulerkan pandangan kelas penguasa, membuatnya
sebagai nalar wajar (common sense) dan mereproduksikannya kembali sebagai kewajaran dan kalau bisa kebutuhan masyarakat itu sendiri. Peran masyarakat sipil—seperti
gereja/mesjid, sekolah, seni dan media—sangat besar dalam proses ini.
Karena kepemimpinan bergantung pada konsensus masyarakat, segala bentuk
kekerasan berupa kekuatan militer dan polisi diminimalisir. Kekerasan
negara hanya akan dibutuhkan ketika melalui konsensus hegemoni penguasa
tidak lagi dapat dicapai. Dengan konsep ini, Gramsci berhasil
menjelaskan bahwa, meskipun didukung oleh kepentingan elit yang bejat,
pemikiran-pemikiran fasis justru populer karena disyiarkan dengan
kata-kata manis yang seolah masuk akal.
Mesin penggerak hegemoni adalah propaganda. Propaganda merupakan alat
komunikasi penting yang membentuk opini publik. Propaganda membentuk
sikap, tindakan dan pikiran masyarakat. Medium utamanya adalah media
massa. Bentuk propaganda bermacam-macam, ada mitos, simbol, retorika dan
lain lain (lihat Panduan Analisis Propaganda untuk Pemilu 2014).
Propaganda seringkali juga menggunakan ‘kebenaran’ dan ‘ilmu
pengetahuan’ dengan memanipulasinya atau dengan menggunakan kebenaran
sepihak. Contoh kasus dalam pemilu 2014 adalah survei-survei polling
yang tidak jelas akurasi datanya. Oleh karena itu, ‘fitnah’ dan
‘kampanye hitam’ hanyalah sebagian kecil teknik yang digunakan dalam
propaganda. Untuk memahami pertarungan hegemoni di Indonesia, kita akan
memahami propaganda tim Prabowo vs. tim Jokowi dan menjelaskan fenomena
sosiologi macam apa yang ada dalam masyarakat kita.
Kita mulai dengan propaganda tim Prabowo. Slogan retorika tim Prabowo
adalah ‘selamatkan Indonesia’. Walaupun tidak jelas Indonesia harus
‘diselamatkan’ dari ‘siapa’/’apa’?, tetapi slogan ini justru efektif
untuk melancarkan dua alat propaganda lainnya. Pertama adalah
‘pembentukan ‘musuh’ bersama’. Slogan ini cair, artinya di depan kaum
Islamis garis keras seperti FPI, musuh yang dibuat adalah Muslim Syiah,
Ahmadiyah, orang Cina, kaum Nasrani; di depan ‘rakyat miskin’, musuh
adalah pengusaha neoliberal, ‘para pencuri uang rakyat’ dll; sementara
di depan kaum nasionalis, musuh yang dibayangkan adalah segala bentuk
ancaman dari luar/asing. Konstruksi ‘musuh’ ini ampuh untuk melancarkan
alat propaganda kedua, yaitu rasa urgensi (sense of urgency). Perasaan
untuk segera bertindak ini tidak diarahkan berdasar pada riset yang
matang dan kalkulasi langkah strategi yang jelas, tetapi lebih oleh
‘rasa takut’ bahwa ada bahaya laten menghadapi bangsa. Seperti
kebanyakan alat propaganda tradisional lainnya, propaganda ini
beroperasi dengan mengeksploitasi emosi masyarakat dan bukan membangun
cara berpikir yang logis.
Sentimen yang muncul dari pembentukan rasa takut secara kolektif ini
sejalan dengan citra yang dibangun tentang Prabowo. Karena ada ‘musuh’,
maka kita butuh pemimpin militeristik yang ‘kuat’, ‘tegas’, ‘berani’ dan
‘agresif’. Kebutuhan ini pun diadopsi para simpatisan Prabowo, salah
satunya dalam lirik lagu Ahmad Dhani berikut:
‘Kita butuh pemimpin yang kuat Kita butuh pemimpin yang tegas Yang bisa bawa bangsa ini menjadi bangsa nomer satu. Sekarang atau tidak sama sekali … Inilah satu2nya kesempatan kita untuk jadi Bangsa yang besar dan ditakuti Bangsa yang disegani dihormati’ …
[Suara Prabowo] ‘Kalau bukan sekarang kapan lagi’
Citra ‘ksatria militer ideal’ pun dibangun dengan simbol-simbol
tradisional. Prabowo menggunakan burung garuda untuk melekatkan ide
nasionalisme, sementara kuda dan keris digunakan untuk memainkan
nostalgia ksatria militer Jawa. Rasa ‘aman’ yang ditawarkan dengan
simbol-simbol ini bekerja melalui pembentukan ide pemimpin yang
patriotik, militeristik yang akan ‘memenangkan’ Indonesia menjadi
‘bangsa yang ditakuti, disegani dan dihormati’ melalui penaklukan
‘musuh’. Tentu saja mitos yang dibangun ini dilakukan dengan
memanfaatkan latar belakang militer Prabowo, tetapi pembangunan mitos
sebagai ksatria militer ideal ini pun berguna untuk menutupi karir
buruknya di TNI. Bagaimana pun, mitos pemimpin yang jelas tidak
realistis ini mengeksploitasi sentimen sebagian masyarakat yang merasa
bahwa penyelesaian masalah bangsa yang begitu kompleks akan selesai
dengan datangnya ‘ratu adil’.
Citra Prabowo sebagai ‘ratu adil’ ini dibangun dengan teknik-teknik
estetika visual yang khas dalam iklan-iklan kampanyenya yang
mengingatkan kita dengan teknik yang juga digunakan dalam propaganda
Orde Baru. Teknik yang pertama adalah dengan membangun sosok
narsisistik, sosok ‘aku’. Perhatikan hampir semua iklan TV Prabowo yang
disponsori partainya dipenuhi oleh foto, aktivitas, cuplikan suara
dirinya. Berbagai aktivitas masyarakat—petani, guru, nelayan—hanya
menjadi latar belakang pembangunan sosok ini. Teknik kedua adalah
pengambilan gambar dan voice-over yang dibiarkan impersonal dan
berjarak, seakan-akan kita semua sedang menyaksikan Prabowo tanpa ikut
di dalamnya. Bagi masyarakat yang terbiasa dengan struktur kepemimpinan
hirarkis dan vertikal, pembuatan jarak ini berfungsi untuk membangun
karakter pemimpin yang ‘sakral’, turun dari langit dan tidak sejajar
dengan kawula rendahan.
Yang paling menarik dari propaganda tim Prabowo adalah, selain mengadopsi pencitraan tubuh Sukarno (lihat tulisan ‘Dua Tubuh Sukarno‘),
Prabowo juga mengadopsi pencitraan Suharto. Selain menggunakan teknik
estetika visual ala Orba yang sudah dijelaskan di atas, dalam
orasi-orasinya dan juga debat presiden yang pertama, Prabowo melafalkan
akhiran ‘kan’ dengan ‘ken’ yang khas Suharto, seperti ‘mengandalken’ dan
‘inginken’ (cat: Sukarno juga melafalkan ‘kan’ dengan ‘ken’, tapi
pelafalan ini lebih lekat dengan pencitraan Suharto yang dibangun lewat
pidato-pidatonya di televisi). Kita tahu bahwa kedua presiden memiliki
sejarah politik kepemimpinan top-down, Sukarno dengan demokrasi
terpimpinnya sementara Suharto dengan kediktatorannya. Mitos sosok
‘pemimpin kuat’—dengan orasi yang berapi-api dan pemimpin tangan
besi—diadopsi, digabungkan dan dibuat untuk membangun nostalgia
romantisme masa ‘kejayaan’ Indonesia—melawan koloni di jaman Sukarno dan
sukses pembangunan di jaman Suharto.
Salah satu fungsi media adalah menetapkan agenda (agenda-setting), artinya
melalui media para propagandis dapat mengalihkan perhatian masyarakat
pada isu tertentu, sementara isu lain sengaja ditutupi dan diabaikan.
Dalam kampanyenya, tim Prabowo fokus pada pencitraan Prabowo sebagai
pemimpin yang kuat dan tegas. Tidak heran kalau seorang simpatisan
ditanya mengapa pilih Prabowo, jawabannya adalah ‘karena dia pemimpin
yang kuat dan tegas’. Dari kacamata politik komunikasi, ini brarti
propaganda Prabowo sukses. Tapi Propaganda berdasar pembangunan citra
dan bukan ide akan menjadi bumerang bagi Prabowo sendiri. Sebenarnya
bagaimana Prabowo akan memimpin, apa maksud ‘kuat dan tegas’ dan apa
rencana Prabowo untuk Indonesia? Untuk itu mari kita membongkar
visi-misi tertulisnya.
Visi misi tim Prabowo sangat pendek—8 halaman lebih sedikit. Isinya
berupa daftar program-program yang akan dilakukan dan tidak ada
penjelasan kenapa program a dan b, misalnya, penting untuk dilakukan.
Saya membatasi analisis saya hanya pada pertanyaan berikut: bagaimana
tim Prabowo membayangkan kita, yang dipimpin? Dan bagaimana rencananya
dalam berkomunikasi dengan kita?
Strategi pertama saya adalah dengan melihat pilihan katanya.
Tim Prabowo dalam visi misinya menggunakan kata ‘rakyat’ 23 kali, kata
‘bangsa’ 11 kali dan kata ‘publik’ 1 kali. Selain itu, digunakan
terminologi teknis seperti: ‘penduduk’, ‘si miskin’, ‘si kaya’,
‘angkatan kerja’, ‘pekerja’, ‘dunia usaha’, ‘pedagang kecil’, ‘buruh’
‘orang kaya’ dan ‘kelas menengah’. Terminologi ini adalah istilah teknis
karena penggunaannya lebih bersifat pengelompokan berdasar penghasilan
maupun tipe pekerjaan, artinya keduanya berhubungan langsung dengan
proyek ekonomi. Yang menarik perhatian saya justru penggunaan kata
‘rakyat’. Kata ‘rakyat’ sudah sejak dulu digunakan para pemimpin untuk
mengacu pada ‘yang dipimpin’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005),
‘rakyat’ berarti ‘penduduk suatu negara’, tapi ia juga bisa berarti
‘orang kebanyakan’, ‘orang biasa’ dan ‘bawahan’. Kata ‘rakyat’ pun
sering digunakan untuk memberi makna bahwa seorang pemimpin ketika ia
ingin sejajar dengan rakyat dia akan ‘merakyat’, kalau dia ingin
‘pro-rakyat’ dia akan mengaplikasikan ‘ekonomi kerakyatan’. Namun, dalam
sejarahnya, kata ‘rakyat’ pun memiliki makna implisit yang hirarkis di
mana rakyat adalah massa yang pasif: rakyat di bawah; pemimpin di atas,
rakyat manut; pemimpin mengayomi, rakyat dicerdaskan; pemimpin
mencerdaskan. Hubungan patriarkal dan infantilisasi ‘rakyat’—pemimpin
sebagai bapak dan rakyat sebagai anak—terlihat dengan jelas dalam lagu ‘Bapak Kami Soeharto‘ berikut ini yang diciptakan Titiek Puspa di tahun 1990an di masa rezim Suharto:
Sujud kami bagimu yang esa Terima kasih atas karunia Sandang, pangan, pembangunan Kau limpahkan bagi negri Indonesia Sorang bapak yang telah kau cinta Tuk memimpin negeri tercinta Wibawanya dan senyumnya Memberi ceria wajah Indonesia Kepadamu Bapak kami Suharto Terima kasih dari rakyat semua Di belakangmu kami siaga Demi kejayaan Indonesia Kepadamu bapak kami Suharto Terima kasih dari rakyat semua Di dadamu kami sembahkan Bapak pembangunan Indonesia
Analisis kedua yang saya lakukan adalah mencari program
konkret dalam visi misi Prabowo tentang bagaimana negara akan
berkomunikasi dengan warga negara dan apakah komunikasi dua arah ini
dianggap perlu dalam proses bernegara. Hasilnya, tidak saya temukan
program komunikasi bernegara yang spesifik dalam visi misi Prabowo.
Seperti pemerintahan sebelumnya, komunikasi hanya dipandang dalam
kacamata instrumentalis, salah satunya dalam hal pengembangan
‘industri nasional’. Alat transportasi (I.5 dan VI.2) yang merupakan
infrastruktur komunikasi fisik, misalnya, yang penting dalam kontak
komunikasi dan interaksi antar setiap manusia dalam sebuah negara hanya
dilihat sebagai kebutuhan perekonomian dibanding kebutuhan sosial
pembangunan karakter warga negara. Begitu pula teknologi komunikasi
sosial hanya mendapat perhatian sekilas dalam hubungannya sebagai
‘instrumen’ komunikasi dalam konteks ekonomi atau birokrasi (I.8.b,
II.6.8. Dan VI.6) dan bukan untuk kebutuhan sosial, misalnya:
‘Meningkatkan keharmonisan hubungan industrial dengan jalan memperbaiki
koordinasi dan komunikasi antara pekerja, dunia usaha dan pemerintah’
(I.11.b.)—walaupun kita tahu permasalahan yang dihadapi kelas pekerja
bukan masalah ‘miskomunikasi’ semata. Pandangan terhadap komunikasi yang
‘instrumentalis’ ini mengimplikasikan pandangan yang juga
‘instrumentalis’ pada masyarakat.
Lalu, bagaimana dengan propaganda tim Jokowi?
Kampanye tim Jokowi bisa dibilang menarik karena mereka menggunakan
teknik yang sama sekali baru dan tidak menggunakan teknik tradisional
yang biasa dilakukan dalam kampanye-kampanye presiden sebelumnya.
Tekniknya fokus pada pembangunan komunitas. Slogan kampanyenya misalnya,
‘Indonesia hebat’ (atau ‘Jakarta baru’ di masa pencalonan gubernur),
membangun rasa bangga dan ‘mandiri’ yang juga merupakan bagian dari visi
misi tertulisnya. Simbol Jokowi yang paling dikenal mungkin adalah baju
kotak-kotak merah, yang menjadi populer ketika dia mencalonkan diri
menjadi gubernur Jakarta dua tahun lalu. Baju kotak-kotak memiliki kesan
tidak formal dan santai jadi efektif dalam memikat anak-anak muda
(apalagi di antara anak muda perkotaan, baju kotak-kotak identik dengan
kaum hipster). Jokowi juga identik dengan kemeja putih polos
dengan lengan tangan dilipat ke atas, sehingga ia sering dianggap
mengidentifikasi diri dengan kaum pekerja—bukan kelas berjas dan
berdasi—dan membuat citra sosok kelas bawah yang sederhana.
Iklan TV kampanye Jokowi juga tidak memunculkan foto maupun aktivitas
Jokowi, kecuali, dalam beberapa iklan, Jokowi muncul diakhir iklan
untuk mempromosikan partainya. Yang lebih menarik lagi adalah penggunaan
kata ‘kita’ dalam voice-over beberapa iklan, salah satunya ini:
‘Kita ingin pemimpin jujur Kita ingin pemimpin bersih Kita ingin pemimpin sederhana Tapi Siapkah kita dipimpin untuk menjadi jujur? Siapkah kita dipimpin untuk menjadi bersih? Siapkah kita dipimpin untuk menjadi sederhana? Bersama pemimpin yang lahir dari rakyat? Kita siap menjadi Indonesia sebenarnya. Jokowi-JK adalah kita.’
Penggunaan kata ‘kita’ memberikan rasa inklusif bagi penonton.
Hubungan antara Jokowi dan penonton jadi tidak berjarak dan lebih
personal. Hubungan pemimpin dan yang dipimpin pun dibuat kooperatif—ada
kerjasama dua arah. Ini sesuai dengan orientasi kampanyenya yang
berorientasi pada pembentukan komunitas tadi. Tidak heran kalau Jokowi
juga mempopulerkan aktivitas ‘blusukan’ yang juga menjadi simbol
propaganda Jokowi. Dalam blusukan, jokowi membuat politik komunikasi yang dua arah—saling
mendengar dan memberi masukan, dan membentuk hubungan yang personal
dengan calon pendukung. Politik komunikasi dua arah seperti ini
memungkinkan masyarakat menggunakan kemampuannya untuk menjadi ekstensi
propaganda, dengan menjadi relawan, ikut kampanye dll. Tidak heran kalau
dukungan kepada Jokowi banyak bermunculan dengan turunnya masyarakat ke
jalanan dengan menjadi relawan, membuat radio komunitas Jokowi-JK, membuat selebaran/koran (seperti koran Bakti), membuat kampanye lewat blog, twitter, facebook, membuat lagu simpatisan (seorang kawan menemukan lebih dari 60 lagu di youtube yang dibuat oleh masyarakat umum untuk dukung Jokowi-JK), dan, yang lebih penting lagi, pendanaan massal untuk kampanye (crowdfunding).
Salah satu video youtube lagu dukungan untuk Jokowi-JK dari masyarakat umum.
Dengan membangun rasa komunitas dan hubungan kerjasama horisontal,
tim Jokowi berhasil mengorganisir masyarakat dan merangsang munculnya
aktivitas-aktivitas dari bawah ke atas (bottom up) untuk mengkampanyekan dirinya. Sosial media juga berperan dalam hal ini, pengguna media sosial meng-share berita positif tentang Jokowi, ikut membela Jokowi apabila ada ‘kampanye hitam’,menulis blog, membuat lagu di youtube
dll. Teknik propaganda dan pembentukan wacana yang inovatif ini, yang
berorientasi pada pembentukan komunitas, justru lebih efektif memikat
masyarakat dibanding latar belakang partai Jokowi, yaitu PDI-P.
Bagaimana kemudian tim Jokowi membayangkan ‘kita’? Apa rencana
Jokowi, kalau ada, tentang proses komunikasi antara negara dan warga
negara? Tim Jokowi menggunakan konsep ‘publik’ sebagai rencana
komunikasi politiknya; penggunaan konsep ini belum pernah sebelumnya
secara sadar digunakan dalam kampanye presiden terdahulu. Dari
visi-misinya yang berjumlah 41 halaman itu, tim Jokowi menggunakan kata
‘bangsa’ 51 kali, ‘publik’ 41 kali, ‘masyarakat’ 28 kali, ‘warga negara’
17 kali, ‘rakyat’ 14 kali dan ‘manusia’ 13 kali. Dari sini, kata
‘bangsa’ dan ‘publik’ adalah dua kata yang paling dominan digunakan
untuk mengacu pada masyarakat yang akan dipimpin. Saya ingin memberikan
perhatian pada kata ‘publik’ ini. Kata ‘publik’ di masa orde baru memang
bukan bagian dari kosa kata pemerintahan dan hanya populer di kalangan
aktivis. Kata ini baru masuk dalam kosa kata perpolitikan Indonesia di
masa reformasi, contohnya dalam reformasi undang-undang penyiaran di
masa Megawati yang menugaskan pengadaan ‘institusi publik’ untuk
mengawasi penyiaran, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Apakah
makna ‘publik’? ‘Publik’ sebenarnya merupakan konsep yang sering
dikontraskan dengan ‘massa’. ‘Publik’ terdiri dari warganegara yang
secara aktif ikut dalam pembentukan opini dan sikap untuk mengritik dan
mengarahkan urusan-urusan yang menyangkut kenegaraan. Sementara, ‘massa’
merupakan sekumpulan orang yang diasumsikan pasif. Kalau dalam ‘massa’,
opini yang beredar bersumber dari otoritas elit penguasa; dalam ‘ruang
publik’, sumber opini datang dari masyarakat sendiri. Opini dari ‘ruang
publik’ juga memiliki peran penting dalam aktivitas negara, tidak
seperti suara massa yang dianggap tidak signifikan. Keberadaan ‘publik’
yang benar-benar nyata memerlukan syarat yang sulit direalisasikan dalam
pemerintahan yang top-down dan hirarkis: 1) kepemilikan media
tidak bisa dimonopoli oleh segelintir orang; 2) setiap warga
negara—bahkan di pelosok negeri—harus memiliki akses ke ruang publik; 3)
perbedaan pendapat dan kontak antara berbagai manusia yang memiliki
identitas berbeda merupakan kebutuhan untuk mengayomi kehidupan
kebersamaan bernegara. Lalu apa rencana komunikasi negara dan warga
negara dari program visi misi tim Jokowi?
Konsep komunikasi Jokowi pun menggunakan konsep ‘publik’ ini sebagai landasan bernegara. Berikut kutipan-kutipannya:
‘5. Kami akan membangun keterbukaan informasi dan
komunikasi publik. Dalam kebijakan informasi dan komunikasi publik, kami
akan memberi penekanan pada 7 (tujuh) prioritas utama
a. Kami akan menjalankan secara konsisten UU No. 12 Tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik.
b. Kami akan meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di
lingkungan instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk
menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
c. Kami akan mewajibkan instansi pemerintah pusat dan daerah untuk
membuat laporan kinerja serta membuka akses informasi publik seperti
diatur dalam UU No. 12 Tahun 2008 untuk mewujudkan penyelenggaraan
negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel
serta dapat dipertanggungjawabkan;
d. Kami akan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan kebijakan publik dengan meningkatkan peran aktif masyarakat
dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang
baik;
e. Kami akan menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana
pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses
pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan
publik;
f. Kami akan menata kembali kepemilikan frekuensi penyiaran yang
merupakan bagian dari hajat hidup orang banyak sehingga tidak terjadi
monopoli atau penguasaan oleh sekelompok orang (kartel) industri
penyiaran;
g. Kami akan mendorong inovasi dan pengembangan industri teknologi
informasi dan komunikasi, sehingga Negara besar seperti Indonesia tidak
sekedar menjadi pasar bagi semua industri teknologi informasi dan
komunikasi asing, tetapi mampu menciptakan dan memproduksi teknologi
informasi dan komunikasi serta menjadi tuan rumah di Negara sendiri.’
(Halaman 17)
Juga disebutkan:
‘d. Kami akan menyediakan forum untuk melibatkan
masyarakat dalam proses legislasi dan menyediakan akses terhadap proses
dan produk legislasi’
‘f. ‘Kami berkomitmen untuk mewujudkan Pelayanan Publik yang Bebas Korupsi melalui teknologi informasi yang transparan’ 24
‘l. Kami akan membuka keterlibatan publik dan media massa dalam
pengawasan terhadap upaya tindakan korupsi maupun proses penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi.’ (Halaman 25)
Tim Jokowi cukup sensitif dengan syarat kondisi ‘ruang publik’ yang
sudah disebutkan di atas. Mereka berkomitmen untuk menata kembali
kepemilikan penyiaran yang selama ini dimonopoli segelintir orang (poin
f) (lihat: Penelitian Merlyna Lim).
Mereka juga berkomitmen untuk melibatkan masyarakat dalam proses
legislasi. Komunikasi dua arah yang setara antara negara dan warga
negara dan kepastian agar warga negara untuk ikut dalam proses harian
kehidupan bernegara adalah salah satu manifestasi konsep ‘publik’.
‘Ruang publik’ yang masih dikungkung dengan ketidakadilan hukum juga
akan timpang. Maka, perlu juga digarisbawahi program tim Jokowi yang
tanpa takut dan malu (unapologetic) disampaikan:
‘Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan
terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan
saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia
seperti; kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa,
Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965’
‘Kami berkomitmen menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem
hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi UU Peradilan Militer yang
pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM’ (halaman 27)
Berikut ringkasan perbandingan politik komunikasi tim Prabowo dan Jokowi:
Perbedaan politik komunikasi di balik propaganda masing-masing capres
ini dan juga asumsinya tentang struktur kepemimpinan, mencerminkan
gerak sejarah yang aktif yang ada dalam masyarakat kita saat ini.
Gramsci menerangkan bahwa hegemoni menjelaskan aktivitas kelompok
dominan di satu sisi dan kekuatan-kekuatan progresif yang counter-hegemony di sisi lain. Model kepemimpinan hirarkis dan top-down
yang direplikasi Prabowo adalah hegemoni ‘residual’ yang terus hidup
dan diteruskan dari masa lalu hingga sekarang. Kepemimpinan model
seperti ini memang terus direproduksi bahkan dalam masyarakat sipil,
misalnya dalam struktur lembaga agama, hubungan patriarkal antara ayah
dan anak/istri bahkan antara dosen dan mahasiswa. Tidak heran ketika
seorang anggota masyarakat yang terbiasa dengan sistem ini
mengelu-elukan seorang pemimpin yang kuat dan tangguh, biasanya juga
memiliki pandangan romantis tentang militer. Begitu juga, tidak heran
melihat mantan aktivis yang sekarang mendukung kepemimpinan yang jelas
tidak demokratis ini. Iming-iming ratu adil sangat efektif untuk
orang-orang yang ingin perubahan yg instan—yang tidak mau berkotor-kotor
terjun dan bergerak bersama masyarakat. Rasa aman yang dibangun
berdasarkan rasa takut, hanya menguntungkan pemimpin yang memanfaatkan
rasa takut/paranoid kolektif ini untuk kepentingannya. Padahal, bangsa
yang “kuat, aman, makmur, berdikari” justru harus dibangun dengan
kesadaran dan bukan eksploitasi paranoia kolektif.
Model kepemimpinan yang dipromosikan Jokowi sama sekali baru—paling
tidak dalam sejarah bangsa kita. Hegemoni model komunikasi Jokowi adalah
hegemoni yang ‘emergent’, muncul sebagai alternatif dari model kepemimpinan masa lalu, sebagai counter-hegemony.
Kedua hegemoni model Prabowo dan Jokowi sama-sama dominan dalam
masyarakat kita: ada pertarungan aktif antara model pemimpin tradisional
yang hirarkis vs. pemimpin baru yang berorientasi komunitas. Sebagai
gerak sejarah yang aktif, hegemoni selalu memperbaharui wajahnya.
Prabowo, misalnya, menunjukkan diri bukan saja sebagai seorang militer
tangguh yang nasionalis tetapi juga sebagai Muslim tulen. Identitas
Muslim ini penting dalam kancah politik pasca-Orde Baru. Dengan begitu,
Prabowo dianggap merupakan penggabungan segala kebutuhan koalisi antara
elemen masyarakat yang paling ‘lengkap’. Saya letakkan tanda kutip untuk
kata ‘lengkap’ karena jelas ini hanyalah modus propaganda semata untuk
memenangkan simpati kelompok-kelompok yang tertarik pada isu-isu tunggal
(single-issue group).
Kalau hegemoni kelas penguasa selalu beradaptasi dengan memperbaharui diri, bagaimana dengan counter-hegemony
yang ada? Apakah kita cakap dalam memperbaharui taktik dan strategi
dalam bergerak? Jangan-jangan, kita melulu menggunakan teknik yang sudah
usang sehingga lagi-lagi tumbang?
Menurut saya, tidak akan ada perubahan yang signifikan tanpa
partisipasi masyarakat yang sebenarnya dan tanpa keterbukaan untuk
mendengar pluralitas ide, rasa, nilai dan pikiran yang ada. Salah satu
ideologi para intelektual borjuis yang sukses adalah mitos bahwa
demokrasi dan kesetaraan sosial dapat dicapai hanya dengan pemilu tiap 5
tahun sekali dan parlemen—artinya nasib bangsa diputuskan oleh
segelintir pemimpin di parlemen. Tanpa partisipasi masyarakat dalam
kehidupan politik sehari-hari, janji-janji Prabowo maupun Jokowi belum
tentu menguntungkan masyarakat kelas bawah. Memilih apatis dan tidak
melakukan apa-apa, seperti dalam konteks kita misalnya golput, pun hanya
menguntungkan kelas penguasa, karena salah satu cara efektif mengontrol
populasi adalah justru dengan menimbulkan rasa apatisme—dengan
membangkitkan rasa kecewa karena kegagalan perjuangan di masa lalu—di
satu sisi dan mengontrol konsensus di sisi lain—sehingga suara
perlawanan yang ada terus terpojok. Satu-satunya cara agar masyarakat
kelas bawah mendapatkan hak politiknya adalah dengan merebutnya. Tidak
bisa kalau masyarakat terus-terusan menunggu sisa-sisa makanan dari
bawah meja dan malas berjuang untuk mengklaim tempatnya di atas meja
sejajar dengan para penguasa—alih-alih berharap bisa mengambil alih
kursi para penguasa ini. Artinya, tidak bisa kita hanya menganggap bahwa
perjuangan selesai dengan mencoblos 5 tahun sekali.
Apa tugas kita? Pemilu saat ini membuka ruang bagi kita untuk
bergerak membentuk komunitas kita masing-masing dan bekerjasama satu
sama lain untuk membentuk blok hegemoni masyarakat kelas bawah. Program
Jokowi untuk membuka ‘ruang publik’ pun dapat menjadi infrastruktur bagi
tujuan tersebut. Tetapi, menurut Gramsci, ini harus dicapai dengan cara
yang ‘etis’ yang artinya kebenaran dan konsensus tidak dapat dipaksakan
secara top-down dan harus dibuat nyata melalui dialog konkrit
dan simpatik antara tiap anggota masyarakat. Sementara kita diskusikan
secara terbuka langkah-langkah apa yang bisa kita lakukan untuk
membentuk hegemoni masyarakat kelas pekerja ini, saya akan tutup tulisan
ini dengan sebuah kutipan inspiratif tentang sikap ‘dukungan kritis’,
bukan dari filsuf tersohor tetapi dari jalanan:
‘Setelah pilihan dan kemenangan Kami akan mundur menarik dukungan Membentuk barisan parlemen jalanan Mengawasi amanah kekuasaan.’
(Lagu ‘Bersatu Padu Memilih No. 2′ oleh Kill the DJ & Balance)***
Penulisadalah kandidat doktor ilmu komunikasi di University of Colorado, Boulder, AS.
Saat transit di Bandara Sepinggan Balikpapan dalam kunjungan ke Samarinda, Kamis 24/5, JK bertemu Dahlan Iskan dan keduanya pun sempat berbincang bincang sambil menunggu penerbangan lanjutan.
Dalam pertemuan singkat ini,
JK sapaan akrab M. Jusuf Kalla, sempat menanyakan kepada Dahlan Iskan,
"apakah akan mendukung dirinya dan Jokowi pada Pilpres, nanti?"
Dan ketika itu secara lugas, Dahlan Iskan mengatakan siap mendukung, kata JK.
Pada kesempatan lain, Dahlan Iskan, peserta Konvensi Calon Presiden dari Partai Demokrat sekaligus Meneg BUMN, sudah mengatakan sulit membendung Jokowi.
Jokowi adalah arus besar kecintaan rakyat, dia tidak bisa dibendung itu realitas politik saat ini.
"Bila calon lain ingin ngotot pengen jadi Presiden, tapi apakah
yang lain dicintai rakyat? Jokowi dicintai rakyat dan sulit terbendung,"
ujar Dahlan Iskan yang merupakan pemenang Konvensi Demokrat ini.
Dukungan Dahlan Iskan ini pun ikut diamini oleh HM Alwi Hamu yang merupakan sahabat dekatnya.
Bahkan, menurut Alwi, dukungan tersebut juga diikuti oleh Relawan Demi Indonesia (Relawan DI) yang merupakan pendukung Dahlan Iskan for President pada konvensi Partai Demokrat yang lalu.
Relawan DI siap mengalihkan dukungannya pada pasangan Jokowi-JK dengan memaksimalkan jaringannya di seluruh Indonesia.
"Tadi malam, Relawan Demi Indonesia siap ikut memenangkan Jokowi JK," tukasnya
Semoga Anda dalam keadaan sehat wal afiat saat membaca
tulisan ini. Saya menulis terkait dengan pilihan saya dalam pemilihan
presiden yang akan datang.
Kemarin saya menerima telepon dari Pak Jokowi, mengundang saya
untuk membantu dalam perjalanan ke depan. Begitu juga dengan Pak Jusuf
Kalla, beliau juga menelpon dan menyampaikan undangan yang sama. Sebagai
warga negara dan sebagai kawan baik mereka, saya harus menjawab dan
menentukan sikap. Di sini kemudian saya melihat kembali pikiran dan
kegiaatan yang selama ini kita sama-sama jalankan.
Sebagaimana yang sering saya sampaikan dalam dialog dan diskusi di Turun Tangan.
Kita harus mendorong orang baik agar bersedia memasuki arena politik
dan mendorong agar kita semua bersedia membantu agar mereka bisa
mendapatkan otoritas untuk mengelola negara ini.
Saya sadar sekali bahwa kita bukan sedang mencari manusia sempurna.
Jadi, jangan berharap akan hadir figur sempurna. Dalam pemilihan
presiden ini kita akan menentukan pada siapa otoritas negeri ini akan
dititipkan. Di Indonesia ada banyak pemimpin. Kitapun bisa memilih
pemimpin kapan saja tapi pergantian pemegang otoritas negeri ini hanya
berlangsung sekali dalam 5 tahun. Pertanyaan yang tiap kita harus jawab
adalah pada pemimpin yang mana otoritas itu akan diberikan? Otoritas
untuk mengatasnamakan kita selama 5 tahun ke depan, untuk mengelola uang
pajak kita, untuk menentukan arah perjalanan pemerintahan dan
sebagainya.
Saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada dua pilihan pasangan
calon pemegang otoritas: Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Itu adalah fakta. Pada pasangan mana otoritas akan kita titipkan?
Seperti saya tulis dalam email sebelumnya, perjuangan kita di
Gerakan Turun Tangan bukan membawa cita-cita untuk meraih otoritas. Kita
membawa misi untuk dijalankan karena itu kita memerlukan otoritas. Kita
membawa misi agar kebijakan yang dihasilkan oleh proses politik ini
adalah kebijakan yang berfokus pada kualitas manusia berdaulat yang
sehat, terdidik dan makmur dalam sebuah masyarakat yang berkepastian
hukum. Indonesia yang berkeadilan sosial. Itu misi kita.
Perjuangan kita selama ini sudah berhasil membangun kesadaran bahwa
orang baik harus turun tangan membantu orang-orang terpercaya agar bisa
terpilih menjadi wakil rakyat dan menjadi pemegang otoritas
kepemimpinan di pemerintahan. Jika proses politik yang terjadi tidak
memungkinkan mendapatkan otoritas itu, sebagaimana yang dialami
sekarang, maka kita akan terus bawa misi itu dalam berbagai kegiatan
kita. Dan tentu saja misi inipun bisa dititipkan pada orang lain yang
kita percayai serta bersedia untuk menjalankannya.
Masalah yang dihadapi Indonesia hari ini masih banyak yang
tergolong masalah primer dan mendasar: pangan, kesehatan, pendidikan,
infrastruktur dan sebagainya. Hambatan terbesar untuk memajukan juga
masih sama, diantaranya maraknya korupsi dan belum terciptanya
tata-kelola pemerintahan yang baik. Siapapun yang diberi otoritas untuk
mengelola negara ini harus membereskan masalah yang elementer ini.
Setelah 15 tahun lebih reformasi berjalan, saya merasa Indonesia
kita memerlukan penyegaran. Perlu cara pandang baru, semangat baru,
pendekatan baru, cara kerja baru, dan bahkan orang baru. Baru memang
bukan soal usia, walau memang usia muda sering diasosiasikan dengan
baru. Kepemimpinan di pemerintahan perlu kebaruan. Saya melihat unsur
kebaruan ini diperlukan untuk membuat terobosan dan membongkar berbagai
kemacetan dalam pengelolaan negara ini.
Sebagaimana yang saya sering sampaikan, jangan diam dan mendiamkan
maka sayapun harus konsisten untuk memilih dan membantu sesuai dengan
kriteria saya.
Di sinilah kemudian saya merasa pasangan Jokowi-JK lebih sesuai.
Mereka berdua tidak sepenuhnya kombinasi kebaruan karena Jusuf Kalla
adalah tokoh senior, pernah jadi Wakil Presiden. Tapi potensi
memunculkan kebaruan dan terobosan dari pasangan Jokowi-JK ini terlihat
lebih besar. Ada lebih besar harapan bahwa pasangan ini bisa menjalankan
misi yang disebut diatas secara lebih optimal. Dengan latar belakang
misi yang selama ini kita jalankan maka saya menyatakan bersedia untuk
membantu pasangan Jokowi-JK.
Melalui email ini, keputusan tersebut saya sampaikan secara
langsung pada semua teman-teman yang selama ini berjalan bersama dalam
Gerakan Turun Tangan. Ini dilakukan sebelum saya menjawab secara terbuka
pada publik/umum. Email inipun dikirim kepada Anda sebelum ada
penjelasan terbuka. Walau di media sudah beredar berbagai spekulasi,
tapi saya ingin memastikan bahwa Anda mendengar kabar ini bukan dari
media massa tapi langsung dari saya sendiri.
Semua ini berjalan amat cepat tapi itulah hidup, kita memang selalu
siap dan berani ambil pilihan lalu hadapi, sebagaimana slogan kita
semua sebagai pejuang.
Pilihan ini adalah pilihan saya pribadi sebagai warga negara yang
menyatakan turun tangan, dan menyatakan siap membantu. Anjuran saya pada
anda adalah jangan diam dan mendiamkan. Seperti yang saya sampaikan
dalam email kemarin: lihat masalah utama Indonesia, lihat
track-recordnya, kaji rencana kerjanya, kuasai informasi tentang mereka
lalu tentukan pilihan. Jangan cari manusia sempurna. Sebagaimana yang
selama ini sering dikatakan, bantu orang baik yaitu orang bersih/tak
bermasalah dan kompeten. Lalu ajak lingkungan anda untuk berdiskusi dan
menentukan sikap.
Perjalanan kita masih panjang. Ikhtiar kita untuk mendorong orang
baik terus kita jalankan. Gerakan Turun Tangan saat ini belum menyusun
perangkat organisasi untuk mengambil keputusan dan sikap. Walau Turun
Tangan sebagai sebuah institusi tidak terlibat dalam kegiatan Pilpres
bulan Juli 2014 ini, tetapi semua simpatisan dan relawan dianjurkan
untuk terus melakukan pendidikan politik dan kesadaran perlunya terlibat
. Setiap kita memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihan diantara
dua pasangan yang berhak menjadi caon dalam Pemilihan Presiden. Saya
telah menentukan pilihan, saya harap anda bisa segera menentukan pilihan
sesuai dengan prioritas anda.
Saya perlu garis bawahi, apapun pilihan kita itu adalah karena
kecintaan kita pada Indonesia dan komitmen kita untuk memanjukan bangsa
tercinta ini. Dengan begitu pilihan ini tidak boleh menyebabkan
permusuhan. Lawan beda dengan musuh. Lawan debat adalah teman berpikir,
lawan badminton adalah teman berolah raga. Beda dengan musuh yang akan
saling menghabisi, lawan itu akan saling menguatkan.
Berbeda pilihan itu biasa, tidak usah risau apalagi bermusuhan,
rilex saja. Jangan kita terlibat untuk saling menghabisi. Mari kita
semua turun tangan untuk saling menguatkan, untuk saling mencintai
Indonesia dan untuk membuat kita semua bangga bahwa kita jaga kehormatan
dalam menjalani proses politik ini.
1. Untuk teman2 yang tanya, saya ikut berjuang bersama dengan
@jokowi_do2 dan @Pak_JK memenangkan Indonesia via Pilpres 2014.
Bismillah.
2. Sy menghormati pilihan kawan2 dalam Pilpres ini. Mohon hormati jg
pilihan saya. Tidak usah buang waktu membully sy krn tak akan sy layani
3. Saya tak mau berpanjang2 soal ini, cuma mau sekali ini aja jawab dg
pendek pertanyaan kenapa saya dukung @jokowi_do2 - @Pak_JK.
4. Bekerja bersama @jokowi_do2 di Pilkada Jakarta selama 7 bulan membuat
sy tahu Jokowi layak diberi kesempatan menjadi pemimpin.
5. Ada banyak cerita tak benar tentang @jokowi_do2 di sosmed. Sayangnya
sy gak berminat melayani & mengklarifikasinya. Saya doakan saja…
6. Saya doakan saja, Tuhan segera memberi pencerahan pikiran dan
pelapangan hati untuk mereka yang senang menyebarkan kebohongan.
7.Saya kenal pribadi @Pak_JK sejak 1998, ketika Sebagai Ketua Mesjid Al
Markaz mengundang saya bicara & diskusi soal politik Umat Islam.
8. Saya tahu bahwa pada @Pak_JK ada banyak kualitas baik yang orang muda
seperti saya harus banyak belajar. Tentu saja @Pak_JK &
@jokowi_do2…
9. Tentu saja, @jokowi_do2 dan @Pak_JK sebagai manusia biasa punya
banyak kelemahan. Begitupun kandidat lain dan kita semua. Tugas kita…
10. Tugas kita adlh terus terjaga, mjadi pengingat para pemimpin agar
mereka bkerja sbaik mungkin & menebar sebanyak mungkin manfaat &
maslahat.
Dukungan Jujur
Eep Saefulloh Fatah adalah CEO dan konsultan PolMark Inc. yang bergerak
di bidang Politik Marketing. Ia juga adalah ‘murid’ dari Ustadz Yusuf
Mansur. Ya, Eep mengutarakan kalau ia mendukung Jokowi dan merasa Jokowi
layak diberi kesempatan menjadi pemimpin. Apalagi pendampingnya JK yang
kapabilitas dan integritasnya sudah teruji.
Yang jadi catatan Eep juga, banyak orang yang denganj watadosnya (wajah
tanpa dosa) menebar link ebrita berita negatif bahkan menjurus fitnah
tentang Jokowi. Saya juga pribadi heran. Kok bisa-bisanya berita link
yang serampangan ditebar gitu aja. Sudah begitu beritanya dari web atau
sumber yang bawa embel-embel islam pula. Malu-maluin islam! Namun Eep
menilai bahwa berita seperti itu tidak layak dilayani. Ya, prestasi dan
kinerja yang berbicara.
Saya perhatikan, baik di sosial media maupun di lingkungan sekitar saya,
sebagian dari mereka yang memutuskan untuk mendukung Prabowo didasari
oleh sentimen agama. Rumor bahwa Jokowi adalah Kristen dan orang tuanya
adalah keturunan Tionghoa semakin menguatkan sentimen tersebut, walau
tidak pernah diketahui secara pasti seberapa besar pengaruhnya.
Masyarakat yang gampang terhasut dan enggan melakukan cek-recek
informasi, dengan mudah termakan oleh rumor tersebut.
Mereka yang melek informasi tahu bahwa Jokowi adalah seorang muslim.
Orang tua dan semua adik-adiknya sudah berhaji. Kampanye hitam yang
menyerang keislaman Jokowi menjadi bumerang ketika terungkap bahwa Ibu
dari Prabowo beragama Kristen, begitu pula dengan kakak dan adiknya,
semuanya beragama Kristen. Adik prabowo, Hashim S. Djojohadikusumo,
merupakan Ketua Dewan Pembina KIRA (Kristen Indonesia Raya), organisasi
sayap Kristen partai GERINDRA (kepengurusan KIRA dapat dilihat pada
situs resmi KIRA di http://www.kiragerindra.org/index.php/content/page/11)
Walau Jokowi terbukti seorang muslim, bagi sebagian muslim itu tidak
cukup, karena di belakangnya ada PDIP. Bagi mereka, PDIP adalah partai
Kristen, sehingga mendukung Jokowi sama saja dengan mendukung Kristen.
Padahal kita semua tahu bahwa baik PDIP maupun GERINDRA, keduanya
bukanlah partai Kristen.
Saya tidak pernah menjadi simpatisan partai manapun. Saya malah
cenderung apatis terhadap partai politik. Hal ini merupakan dampak dari
kekecewaan saya terhadap tingkah-laku sebagian anggota DPR yang korup
dan seringkali tidak berpihak pada rakyat. Jadi bagi saya sama saja,
apakah itu partai islam atau partai nasionalis, semuanya bermasalah.
Ketua Partai Demokrat tersangkut korupsi Hambalang, presiden PKS
tersangkut korupsi sapi, ketua PPP tersangkut korupsi haji, ketua Partai
Golkar tersangkut kasus lumpur, ketua Partai Gerindra pernah dipecat
dari TNI, dan sebagainya. Semua hal di atas bukanlah rumor, tapi fakta.
Jadi tidak ada satu pun partai di Indonesia ini yang bebas dari masalah.
Saya bukan fans-nya PDIP dan tidak pernah seumur hidup pun
(sampai sekarang) menjadi simpatisan PDIP. Namun harus saya akui secara
objektif bahwa PDIP membuat terobosan baru dengan menghadirkan Ibu Risma
di Surabaya, Pak Ganjar di Jawa Tengah, serta Pak Jokowi di Solo dan
DKI. Saya juga mengapresiasi GERINDRA yang mengusung Ahok di DKI dan
Ridwan Kamil di Bandung. Ketika PILKADA dan PILEG, saya tidak peduli
dengan partai pengusungnya. Bagi saya semua partai politik sama
bobroknya. Yang saya lihat adalah tokohnya. Karenanya di PILEG kemarin,
tiga tokoh yang saya pilih untuk DPR, DPRD I dan DPRD II, berasal dari
tiga partai yang berbeda.
Sebagian orang masih saja mempermasalahkan bahwa jika Jokowi menjadi
presiden, maka Ahok yang diusung oleh GERINDRA di PILKADA DKI Jakarta
akan menjadi gubernur. Padahal Ahok itu non-muslim dan keturunan
Tionghoa.
Kalau Ahok non-muslim dan keturunan Tionghoa memangnya kenapa?
Sepanjang ia jujur, cerdas, tulus dan punya nyali untuk memberantas
korupsi dan berbagai penyimpangan, kenapa harus dipermasalahkan agama
dan keturunannya. Gubernur DKI sebelumnya tidak ada yang berani
menyentuh Tanah Abang, tapi Ahok dengan keberaniannya membereskan Tanah
Abang. DISKOTIK STADIUM di Jakarta sudah berdiri 16 tahun, dan menjadi
sarang maksiat, transaksi seks dan narkoba, namun tidak ada satu pun
gubernur Jakarta (yang notabene selalu muslim) yang berani menutupnya,
bahkan seorang Gubernur Jakarta yang berlatar belakang jenderal militer
sekalipun seperti Bang Yos. Tapi Ahok, begitu mendapat mandat menjadi
Plt Gubernur DKI, tanpa basa-basi langsung menutupnya. Jadi ketegasan
itu tidak diukur dari apakah dia militer atau sipil; dan kejujuran juga
tidak diukur dari apakah dia muslim atau bukan. Orang yang jujur,
cerdas, tulus dan berani mati seperti Ahok ini yang kita perlukan untuk
membenahi Jakarta. Tidak peduli apa agama dan etnisnya.
Saya bukan dan tidak pernah menjadi fans-nya ibu Megawati. Namun untuk PILPRES 2014 ini, kurang fair
rasanya jika saya tidak memberikan apresiasi kepada Ibu Mega. Beliau
adalah satu-satunya ketua partai yang tidak mencalonkan dirinya menjadi
presiden. PDIP sering diidentikkan dengan keluarga Sukarno. Ibu Mega
memiliki kesempatan dan kekuasaan untuk mencalonkan dirinya menjadi
capres, namun dengan legowo ia serahkan posisi tersebut kepada Jokowi
yang tidak ada hubungan darah sama sekali dengan keluarga Sukarno. Untuk
menjaga keberlanjutan trah Sukarno, maka sangat logis jika Puan
Maharani menjadi cawapres. Namun lagi-lagi dengan legowo, posisi
cawapres diberikan kepada Jusuf Kalla, orang di luar PDIP. Saya sangat
respek dengan sikap ibu Megawati tersebut, apalagi di tengah-tengah
ambisi semua ketua partai politik yang berlomba-lomba ingin menjadi
capres dan cawapres.
Ketika diresmikan menjadi capres, Jokowi menegaskan bahwa tidak akan
ada bagi-bagi jatah kursi menteri dengan parpol koalisinya. Dia akan
memilih sendiri menterinya dengan penilaian kapasitas dan kualitas. Yang
ingin bergabung dengan koalisi PDIP, maka ia harus bergabung tanpa
syarat, tanpa meminta jatah cawapres atau menteri. Terbukti, baik ketua
partai NASDEM, PKB maupun HANURA, tidak ada satupun yang menjadi
cawapres. Jokowi membuktikan bahwa dirinya memiliki sikap tegas, karena
tegas itu bukan diukur dari suara yang tinggi berapi-api, tapi dari
keputusan yang tidak mengenal kompromi.
MataNajwa edisi “Jokowi atau Prabowo” yang ditayangkan METRO TV tanggal
28 Mei yang lalu membuka mata banyak orang tentang siapa orang-orang di
balik Jokowi dan Prabowo. Sebagian kawan yang tadinya masih bingung,
akhirnya menetapkan pilihan setelah melihat tayangan tersebut. Kubu
Prabowo mengirimkan dua orang terbaiknya, Mahfud M.D. (Ketua Tim
Pemenangan Prabowo – Hatta) dan Fadli Zon (Wakil Ketua Umum GERINDRA dan
Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo – Hatta). Tidak ada orang yang
jabatannya lebih tinggi dari kedua orang ini di kubu Prabowo. Kehadiran
mereka berdua dilengkapi oleh Ahmad Yani (Ketua DPP PPP).
Sementara kubu Jokowi diwakili oleh Anies Baswedan (Juru Bicara Tim
Sukses Jokowi – JK), Maruarar Sirait (Ketua DPP PDIP), dan Adian
Napitupulu (aktivis ’98 dan pendiri FORKOT). Bagi yang belum menonton,
berikut link rekaman-nya: http://youtu.be/k-f7dEuydR0
Banyak orang yang memuji Pak Anies Baswedan karena penuturannya yang
sangat baik, santun dan sistematis. Namun bagi saya informasi yang
paling krusial malam itu adalah pemaparan Pak Mahfud M.D. yang
membeberkan secara blak-blakan bahwa ia memilih bergabung ke
kubu Prabowo karena sakit hati dengan PKB dan Pak Muhaimin Iskandar.
Keputusan ini memiliki beban psikologis yang sangat berat ujar Pak
Mahfud, sampai ia harus mengalami pergolakan batin selama tiga hari tiga
malam, bahkan sampai mengucurkan air mata. Berbeda sekali dengan Pak
Anies Baswedan yang dengan sangat rileks mengatakan “simpel”, tidak ada
beban moral sama sekali ketika memutuskan pilihan kepada Jokowi – JK.
Pak Mahfud yang lugu kemudian membuka rahasia koalisi bahwa Fadli Zon
mengatakan kepada dirinya, sebenarnya dalam hatinya Fadli Zon ingin Pak
Mahfud yang menjadi cawapres bukan Pak Hatta. Bagi Fadli Zon “rayuan
gombal” semacam itu adalah praktek yang biasa, karenanya seringkali
kata-katanya tidak bisa dipegang dan dipertanggungjawabkan. Saya sangat
bersimpati kepada Pak Mahmud yang lugu. Benar kata banyak orang,
janganlah belanja dikala lapar. Janganlah membuat keputusan dikala sakit
hati.
Hal lain yang santer dikampanyekan untuk menyerang Jokowi adalah ia
pemimpin yang ingkar janji dan tidak jujur, karena belum dua tahun
memimpin Jakarta sudah pergi mencalonkan menjadi presiden R.I. Sedangkal
itukah definisi jujur dan ingkar janji? Sedangkal itukah kriteria yang
kita gunakan dalam memilih calon presiden yang akan menentukan nasib 240
juta penduduk Indonesia? Fadli Zon yang selama ini sangat agresif
menyerang Jokowi, tidak pernah bosan mengulang-ulang retorika “ingkar
janji”.
Namun ketika Bang Ara mengatakan, bahwa Fadli Zon dan partai Gerindra
lah yang memboyong Jokowi dari Solo dan mencalonkannya menjadi gubernur
DKI Jakarta padahal masa tugasnya sebagai walikota Solo masih tiga tahun
lagi, Fadli Zon harus menelan ludahnya sendiri. Mengapa Fadli Zon,
seringkali tidak bisa jujur terhadap kata-kata yang diucapkannya?
Sebagian dari kita tentu masih ingat ketika Prabowo mengatakan bahwa
Fadli Zon sangat cocok untuk menjadi menteri pendidikan (Kompas, 12 Juli
2013). Apa jadinya anak-anak kita nanti, jika menteri pendidikan-nya
memiliki sifat dan watak seperti Fadli Zon? Saya membayangkan menteri
pendidikan itu seharusnya orangnya santun, cerdas, dan memiliki jiwa
pendidik dan integritas moral yang tinggi seperti Pak Arief Rachman atau
Pak Anies Baswedan.
Pak Jokowi tidak meninggalkan Jakarta. Tapi ia akan membangun Jakarta
bukan dari balai kota, tapi dari istana negara. Seperti yang pernah
beliau contohkan, untuk mengatasi macet di Jakarta, yang perlu dibangun
bukan hanya di Jakarta saja, tapi harus disambungkan dengan Depok,
Bogor, Tangerang dan Bekasi. Gubernur Jakarta tidak bisa mengkoordinir
itu semua, semua kepala daerah harus setuju dan menandatanganinya.
Contoh kongkrit adalah otoritas transportasi Jabodetabek yang sudah
hampir 1,5 tahun tapi tidak pernah selesai karena masalah wewenang dan
koordinasi. Jika ia menjadi presiden maka segalanya akan jauh lebih
mudah, karena semua kepala daerah berada di bawahnya.
Pada Pilkada kota Solo yang pertama Jokowi meraup 36,62% suara, dan
didaulat menjadi walikota Solo selama lima tahun (2005 - 2010). Tahun
2010, ia mencalonkan kembali, dan meraup persentase suara sebesar
90,09%. Artinya Jokowi berhasil membuktikan kinerjanya di Solo, dan
rakyat memilihnya kembali. Oleh karena itulah Fadli Zon dan partai
Gerindra memboyong Jokowi ke Jakarta untuk dicalonkan menjadi Gubernur
DKI walaupun masa baktinya masih tiga tahun lagi, karena urgensi Jakarta
sebagai ibu kota lebih besar. Ketika itu, ia tidak pernah melabeli
Jokowi dengan sebutan pemimpin ingkar janji.
Terakhir, saya ingin mengutip pesan Pak Anies Baswedan, “Kalau Anda
ingin menjadi pemimpin, lakukan sesuatu bagi rakyat, lakukan kerja untuk
masyarakat. Bukan semata-mata menggunakan dana untuk berkampanye dengan
nilai yang fantastis. Dana yang sama bisa dilakukan untuk petani,
nelayan, untuk pendidikan, daripada untuk beriklan selama
bertahun-tahun. Kita membutuhkan orang yang bukan memburu kekuasaan.
Berikan amanat itu justeru kepada orang yang tidak memburu amanat itu.”
Saya tidak punya afiliasi dengan partai politik manapun. Saya juga bukan
bagian dari tim sukses manapun. Sejujurnya saya ingin bergabung dengan
tim relawan Jokowi, namun kesibukan saya yang cukup padat dalam 2 – 3
bulan ke depan membuat saya tidak bisa melakukannya. Namun demikian,
mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa memberikan pencerahan bagi
teman-teman yang masih galau dalam menentukan pilihannya.
Sebagian orang berkata percuma kita menulis, toh hasilnya tidak akan
memiliki dampak apa-apa. Siapa sih yang akan baca tulisan kita, paling
cuma segelintir orang dibanding julah pemilih yang hampir 185 juta
orang. Walaupun prosentasenya hanya 1/1.000.000, namun saya tetap
memilih untuk menulis. Karena walaupun amat sangat kecil, saya ingin
ikut serta berkontribusi dalam membangun negeri ini. Saya menulis semua
ini atas inisiatif dan kesadaran pribadi, tanpa ada insentif sepeser pun
dari pihak manapun.
Bagi yang merasa tulisan ini membawa manfaat, silahkan disebarkan. Tidak
perlu minta ijin kepada saya. Mudah-mudahan PEMILU 2014 berjalan lancar
dan damai, dan kita dikaruniai oleh Allah SWT pemimpin yang bisa
membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Amien.
Dari Bandung untuk Indonesia, Maulana M. Syuhada
Pengunjung setia perpus ITB
Sumber: Kampanye Prabowo Subianto di Stadion GBK Senayan (sumber: detik.com - 23/3/2014)
Sumber: Jokowi meninjau perekembangan pembangunan Waduk Ria Rio (sumber: tempo.co - 26/9/2013)
banyak orang Muslim, tapi nggak paham Islam | banyak orang Muslim, tapi nggak amalkan Islam
padahal diluar Islam, banyak orang berpikir dan akhirnya masuk Islam |
karena kagum dengan Islam dan terkesima sama dasar agama Islam
bagi orang yang diluar Islam lalu memeluk Islam | dasar-dasar agama
dalam Islam itu jelas | sayang banyak Muslim justru tak paham
sekarang banyak Muslim justru sekuler, dan mempertanyakan keabsahan
Islam | padahal ilmunya nggak ada apa-apanya dibanding ulama terdahulu
lebih parah lagi, banyak yang dikatakan "pimpinan" Muslim | yang merasa
modern dan keren bila mengambil pemikiran-pemikiran diluar Islam
penyakit mental terjajah, hasil jajahan 350 tahun Belanda | jadinya
jumawa dan kebarat-baratan | senang bila dipuji-puji orang kafir
"pemimpin-pemimpin" Muslim ini mengatakan | ini 'Islam ala Indonesia',
'ini Islam Kekinian' | merasa lebih tau dari Allah yang punya agama
padahal Islam itu diturunkan sempurna dan paripurna pada zaman
Rasulullah Muhammad | tak perlu penambahan atau pengurangan atau
perubahan
adapun tatacara, syariat Islam sudah diatur oleh Allah |
untuk bisa menyesuaikan dengan wasilah (perantaraan) apapun sesuai
teknologi
Al-Qur'an dan Al-Hadits lah yang sudah final, selainnya
tiada yang final | Al-Qur'an dan Al-Hadits lah yang tetap, yang lain
bisa berubah
sehingga lucu bila ada Muslim menganggap ada
kebenaran diluar Islam | aneh bila merasa ada kebenaran diluar Al-Qur'an
dan As-Sunnah
pelajarilah Islam, Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai
sumbernya | bila perlu figur panutan, cukup Rasul, sahabat, tabiin dan
tabiut-tabiin
bila ada figur Muslim namun membatalkan apa yang
diwajibkan Rasulullah | kita sudah tahu bahwa Rasulullah-lah panutan
jalan ke surga
Rasulullah terapkan hukum syariat secara total dalam satu kepemimpinan | ada Muslim yang menolak konsep ini? abaikan
Allah mencela riba dan pelakunya, Rasulullah memberantas praktek riba | ada Muslim yang memfatwakan bolehnya riba? abaikan saja
Rasulullah wajibkan hijab bagi istri, anak, dan Muslimah | tapi ada
figur Muslim yang memfatwakan hijab tak wajib | yang begini, abaikan
Rasulullah berjihad (berperang) fii sabilillah puluhan kali dalam
hidupnya | bila ada yang bilang jihad sekarang nggak ada? | abaikan saja
betul, intepretasi dari ayat Allah dan hadits perlu dilakukan | dan
bagi kita sudah cukup sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin saja
karena sahabat, tabiin, dan tabiut-tabiin tentu lebih paham bagaimana
praktik Rasulullah | karena mereka lebih dekat zamannya dan ilmunya
maka untuk urusan Al-Qur'an, tafsir karya Ibnu Katsir, Thabari, atau
Jalalain tentu jauh lebih terpercaya | dibanding tafsir baru-baru ini
untuk hadits, tentu Imam Bukhari, Muslim, Ahmad, dan muhadditsin lainnya | jauh lebih berhak atas 'shahih' tidaknya satu hadits
namun alhamdulillah, masih banyak diantara hamba Allah yang takut
pada-Nya, taat pada-Nya | yang mengabdikan diri pada agama Allah
dan kami walau tak termasuk ulama, insyaAllah akan terus khidmatkan
diri pada agama Allah | agar ummat dekat pada ulama-ulama yang baik
subhanAllah, semoga kita terus dijaga Allah dari dunia dan orang-orang
yang tak suka pada kebenaran | didekatkan dengan ilmu dan ulama
sebagai penutup kalam ini, kami sampaikan sepetik ayat | mudah-mudahan menyemangati kita bahwa Allah pasti menolong kita
"mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, dan Allah
menyempurnakan cahaya-Nya, walau kaum kafir membencinya" (QS 61:8)
1| Jika memiliki anak sudah ngaku-ngaku jadi AYAH, maka sama anehnya dengan orang yang punya bola ngaku-ngaku jadi pemain bola
2| AYAH itu gelar untuk lelaki yg mau dan pandai mengasuh anak bukan sekedar ‘membuat’ anak
3| Jika AYAH mau terlibat mengasuh anak bersama ibu, maka separuh permasalahan negeri ini teratasi
4| AYAH yang tugasnya cuma ngasih uang, menyamakan dirinya dengan mesin ATM. Didatangi saat anak butuh saja
5| Akibat hilangnya fungsi tarbiyah dari AYAH, maka banyak AYAH yg tidak tahu kapan anak lelakinya pertama kali mimpi basah
6| Sementara anak dituntut sholat shubuh padahal ia dalam keadaan junub. Sholatnya tidak sah. Dimana tanggung jawab AYAH ?
7| Jika ada anak durhaka, tentu ada juga AYAH durhaka. Ini istilah dari umar bin khattab
8| AYAH durhaka bukan yg bisa dikutuk jadi batu oleh anaknya. Tetapi
AYAH yg menuntut anaknya shalih dan shalihah namun tak memberikan hak
anak di masa kecilnya
9| AYAH ingin didoakan masuk surga oleh anaknya, tapi tak pernah berdoa untuk anaknya
10| AYAH ingin dimuliakan oleh anaknya tapi tak mau memuliakan anaknya
11| Negeri ini hampir kehilangan AYAH. Semua pengajar anak di usia
dini diisi oleh kaum ibu. Pantaslah negeri kita dicap fatherless country
12| Padahal keberanian, kemandirian dan ketegasan harus diajarkan di usia dini. Dimana AYAH sang pengajar utama ?
13| Dunia AYAH saat ini hanyalah Kotak. Yakni koran, televisi dan
komputer. AYAH malu untuk mengasuh anak apalagi jika masih bayi
14| Banyak anak yg sudah merasa yatim sebelum waktunya sebab AYAH dirasakan tak hadir dalam kehidupannya
15| Semangat quran mengenai pengasuhan justru mengedepankan AYAH
sebagai tokoh. Kita kenal Lukman, Ibrahim, Ya’qub, Imron. Mereka adalah
contoh AYAH yg peduli
16| Ibnul Qoyyim dalam kitab tuhfatul maudud berkata: Jika terjadi kerusakan pada anak penyebab utamanya adalah AYAH
17| Ingatlah! Seorang anak bernasab kepada AYAHnya bukan ibu. Nasab
yg merujuk pada anak menunjukkan kepada siapa Allah meminta
pertanggungjawaban kelak
18| Rasulullah yg mulia sejak kecil ditinggal mati oleh AYAHnya. Tapi
nilai-nilai keAYAHan tak pernah hilang didapat dari sosok kakek dan
pamannya
19| Nabi Ibrahim adalah AYAH yg super sibuk. Jarang pulang. Tapi dia
tetap bisa mengasuh anak meski dari jauh. Terbukti 2 anaknya menjadi
nabi
20| Generasi sahabat menjadi generasi gemilang karena AYAH amat
terlibat dalam mengasuh anak bersama ibu. Mereka digelari umat terbaik.
21| Di dalam quran ternyata terdapat 17 dialog pengasuhan. 14
diantaranya yaitu antara AYAH dan anak. Ternyata AYAH lebih banyak
disebut
22| Mari ajak AYAH untuk terlibat dalam pengasuhan baik di rumah, sekolah dan masjid
23| Harus ada sosok AYAH yg mau jadi guru TK dan TPA. Agar anak kita
belajar kisah Umar yg tegas secara benar dan tepat. Bukan ibu yg
berkisah tapi AYAH
24| AYAH pengasuh harus hadir di masjid. Agar anak merasa tentram
berlama-lama di dalamnya. Bukan was was atau merasa terancam dengan
hardikan
25| Jadikan anak terhormat di masjid. Agar ia menjadi generasi masjid. Dan AYAH yang membantunya merasa nyaman di masjid
26| Ibu memang madrasah pertama seorang anak. Dan AYAH yang menjadi kepala sekolahnya
27| AYAH kepala sekolah bertugas menentukan visi pengasuhan bagi anak
sekaligus mengevaluasinya. Selain juga membuat nyaman suasana sekolah
yakni ibunya
28| Jika AYAH hanya mengurusi TV rusak, keran hilang, genteng bocor
di dalam rumah, ini bukan AYAH ‘kepala sekolah’ tapi AYAH ‘penjaga
sekolah’
29| Ibarat burung yang punya dua sayap. Anak membutuhkan kedua-duanya
untuk terbang tinggi ke angkasa. Kedua sayap itu adalah AYAH dan ibunya
30| Ibu mengasah kepekaan rasa, AYAH memberi makna terhadap logika. Kedua-duanya dibutuhkan oleh anak
31| Jika ibu tak ada, anak jadi kering cinta. Jika AYAH tak ada, anak tak punya kecerdasan logika
32| AYAH mengajarkan anak menjadi pemimpin yg tegas. Ibu
membimbingnya menjadi pemimpin yg peduli. Tegas dan peduli itu sikap
utama
33| Hak anak adalah mendapatkan pengasuh yg lengkap. AYAH terlibat, ibu apalagi
34| Mari penuhi hak anak untuk melibatkan AYAH dalam pengasuhan. Semoga negeri ini tak lagi kehilangan AYAH