Saya perhatikan, baik di sosial media maupun di lingkungan sekitar saya,
 sebagian dari mereka yang memutuskan untuk mendukung Prabowo didasari 
oleh sentimen agama. Rumor bahwa Jokowi adalah Kristen dan orang tuanya 
adalah keturunan Tionghoa semakin menguatkan sentimen tersebut, walau 
tidak pernah diketahui secara pasti seberapa besar pengaruhnya. 
Masyarakat yang gampang terhasut dan enggan melakukan cek-recek 
informasi, dengan mudah termakan oleh rumor tersebut.
Mereka yang melek informasi tahu bahwa Jokowi adalah seorang muslim. 
Orang tua dan semua adik-adiknya sudah berhaji. Kampanye hitam yang 
menyerang keislaman Jokowi menjadi bumerang ketika terungkap bahwa Ibu 
dari Prabowo beragama Kristen, begitu pula dengan kakak dan adiknya, 
semuanya beragama Kristen. Adik prabowo, Hashim S. Djojohadikusumo, 
merupakan Ketua Dewan Pembina KIRA (Kristen Indonesia Raya), organisasi 
sayap Kristen partai GERINDRA (kepengurusan KIRA dapat dilihat pada 
situs resmi KIRA di 
http://www.kiragerindra.org/index.php/content/page/11)
Walau Jokowi terbukti seorang muslim, bagi sebagian muslim itu tidak 
cukup, karena di belakangnya ada PDIP. Bagi mereka, PDIP adalah partai 
Kristen, sehingga mendukung Jokowi sama saja dengan mendukung Kristen. 
Padahal kita semua tahu bahwa baik PDIP maupun GERINDRA, keduanya 
bukanlah partai Kristen.
Saya tidak pernah menjadi simpatisan partai manapun. Saya malah 
cenderung apatis terhadap partai politik. Hal ini merupakan dampak dari 
kekecewaan saya terhadap tingkah-laku sebagian anggota DPR yang korup 
dan seringkali tidak berpihak pada rakyat. Jadi bagi saya sama saja, 
apakah itu partai islam atau partai nasionalis, semuanya bermasalah. 
Ketua Partai Demokrat tersangkut korupsi Hambalang, presiden PKS 
tersangkut korupsi sapi, ketua PPP tersangkut korupsi haji, ketua Partai
 Golkar tersangkut kasus lumpur, ketua Partai Gerindra pernah dipecat 
dari TNI, dan sebagainya. Semua hal di atas bukanlah rumor, tapi fakta. 
Jadi tidak ada satu pun partai di Indonesia ini yang bebas dari masalah.
Saya bukan 
fans-nya PDIP dan tidak pernah seumur hidup pun 
(sampai sekarang) menjadi simpatisan PDIP. Namun harus saya akui secara 
objektif bahwa PDIP membuat terobosan baru dengan menghadirkan Ibu Risma
 di Surabaya, Pak Ganjar di Jawa Tengah, serta Pak Jokowi di Solo dan 
DKI. Saya juga mengapresiasi GERINDRA yang mengusung Ahok di DKI dan 
Ridwan Kamil di Bandung. Ketika PILKADA dan PILEG, saya tidak peduli 
dengan partai pengusungnya. Bagi saya semua partai politik sama 
bobroknya. Yang saya lihat adalah tokohnya. Karenanya di PILEG kemarin, 
tiga tokoh yang saya pilih untuk DPR, DPRD I dan DPRD II, berasal dari 
tiga partai yang berbeda.
Sebagian orang masih saja mempermasalahkan bahwa jika Jokowi menjadi 
presiden, maka Ahok yang diusung oleh GERINDRA di PILKADA DKI Jakarta 
akan menjadi gubernur. Padahal Ahok itu non-muslim dan keturunan 
Tionghoa.
Kalau Ahok  non-muslim dan keturunan Tionghoa memangnya kenapa? 
Sepanjang ia jujur, cerdas, tulus dan punya nyali untuk memberantas 
korupsi dan berbagai penyimpangan, kenapa harus dipermasalahkan agama 
dan keturunannya. Gubernur DKI sebelumnya tidak ada yang berani 
menyentuh Tanah Abang, tapi Ahok dengan keberaniannya membereskan Tanah 
Abang. DISKOTIK STADIUM di Jakarta sudah berdiri 16 tahun, dan menjadi 
sarang maksiat, transaksi seks dan narkoba, namun tidak ada satu pun 
gubernur Jakarta (yang notabene selalu muslim) yang berani menutupnya, 
bahkan seorang Gubernur Jakarta yang berlatar belakang jenderal militer 
sekalipun seperti Bang Yos. Tapi Ahok, begitu mendapat mandat menjadi 
Plt Gubernur DKI, tanpa basa-basi langsung menutupnya. Jadi ketegasan 
itu tidak diukur dari apakah dia militer atau sipil; dan kejujuran juga 
tidak diukur dari apakah dia muslim atau bukan. Orang yang jujur, 
cerdas, tulus dan berani mati seperti Ahok ini yang kita perlukan untuk 
membenahi Jakarta. Tidak peduli apa agama dan etnisnya.
Saya bukan dan tidak pernah menjadi 
fans-nya ibu Megawati. Namun untuk PILPRES 2014 ini, kurang 
fair
 rasanya jika saya tidak memberikan apresiasi kepada Ibu Mega. Beliau 
adalah satu-satunya ketua partai yang tidak mencalonkan dirinya menjadi 
presiden. PDIP sering diidentikkan dengan keluarga Sukarno. Ibu Mega 
memiliki kesempatan dan kekuasaan untuk mencalonkan dirinya menjadi 
capres, namun dengan legowo ia serahkan posisi tersebut kepada Jokowi 
yang tidak ada hubungan darah sama sekali dengan keluarga Sukarno. Untuk
 menjaga keberlanjutan trah Sukarno, maka sangat logis jika Puan 
Maharani menjadi cawapres. Namun lagi-lagi dengan legowo, posisi 
cawapres diberikan kepada Jusuf Kalla, orang di luar PDIP. Saya sangat 
respek dengan sikap ibu Megawati tersebut, apalagi di tengah-tengah 
ambisi semua ketua partai politik yang berlomba-lomba ingin menjadi 
capres dan cawapres.
Ketika  diresmikan menjadi capres, Jokowi menegaskan bahwa tidak akan 
ada bagi-bagi jatah kursi menteri dengan parpol koalisinya. Dia akan 
memilih sendiri menterinya dengan penilaian kapasitas dan kualitas. Yang
 ingin bergabung dengan koalisi PDIP, maka ia harus bergabung tanpa 
syarat, tanpa meminta jatah cawapres atau menteri. Terbukti, baik ketua 
partai NASDEM, PKB maupun HANURA, tidak ada satupun yang menjadi 
cawapres. Jokowi membuktikan bahwa dirinya memiliki sikap tegas, karena 
tegas itu bukan diukur dari suara yang tinggi berapi-api, tapi dari 
keputusan yang tidak mengenal kompromi.
MataNajwa edisi “Jokowi atau Prabowo” yang ditayangkan METRO TV tanggal 
28 Mei yang lalu membuka mata banyak orang tentang siapa orang-orang di 
balik Jokowi dan Prabowo. Sebagian kawan yang tadinya masih bingung, 
akhirnya menetapkan pilihan setelah melihat tayangan tersebut. Kubu 
Prabowo mengirimkan dua orang terbaiknya, Mahfud M.D. (Ketua Tim 
Pemenangan Prabowo – Hatta) dan Fadli Zon (Wakil Ketua Umum GERINDRA dan
 Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo – Hatta). Tidak ada orang yang 
jabatannya lebih tinggi dari kedua orang ini di kubu Prabowo. Kehadiran 
mereka berdua dilengkapi oleh Ahmad Yani (Ketua DPP PPP).
Sementara kubu Jokowi diwakili oleh Anies Baswedan (Juru Bicara Tim 
Sukses Jokowi – JK), Maruarar Sirait (Ketua DPP PDIP), dan Adian 
Napitupulu (aktivis ’98 dan pendiri FORKOT). Bagi yang belum menonton, 
berikut link rekaman-nya: 
http://youtu.be/k-f7dEuydR0
Banyak orang yang memuji Pak Anies Baswedan karena penuturannya yang 
sangat baik, santun dan sistematis. Namun bagi saya informasi yang 
paling krusial malam itu adalah pemaparan Pak Mahfud M.D. yang 
membeberkan secara 
blak-blakan bahwa ia memilih bergabung ke 
kubu Prabowo karena sakit hati dengan PKB dan Pak Muhaimin Iskandar. 
Keputusan ini memiliki beban psikologis yang sangat berat ujar Pak 
Mahfud, sampai ia harus mengalami pergolakan batin selama tiga hari tiga
 malam, bahkan sampai mengucurkan air mata. Berbeda sekali dengan Pak 
Anies Baswedan yang dengan sangat rileks mengatakan “simpel”, tidak ada 
beban moral sama sekali ketika memutuskan pilihan kepada Jokowi – JK.
Pak Mahfud yang lugu kemudian membuka rahasia koalisi bahwa Fadli Zon 
mengatakan kepada dirinya, sebenarnya dalam hatinya Fadli Zon ingin Pak 
Mahfud yang menjadi cawapres bukan Pak Hatta. Bagi Fadli Zon “rayuan 
gombal” semacam itu adalah praktek yang biasa, karenanya seringkali 
kata-katanya tidak bisa dipegang dan dipertanggungjawabkan. Saya sangat 
bersimpati kepada Pak Mahmud yang lugu. Benar kata banyak orang, 
janganlah belanja dikala lapar. Janganlah membuat keputusan dikala sakit
 hati.
Hal lain yang santer dikampanyekan untuk menyerang Jokowi adalah ia 
pemimpin yang ingkar janji dan tidak jujur, karena belum dua tahun 
memimpin Jakarta sudah pergi mencalonkan menjadi presiden R.I. Sedangkal
 itukah definisi jujur dan ingkar janji? Sedangkal itukah kriteria yang 
kita gunakan dalam memilih calon presiden yang akan menentukan nasib 240
 juta penduduk Indonesia? Fadli Zon yang selama ini sangat agresif 
menyerang Jokowi, tidak pernah bosan mengulang-ulang retorika “ingkar 
janji”.
Namun ketika Bang Ara  mengatakan, bahwa Fadli Zon dan partai Gerindra 
lah yang memboyong Jokowi dari Solo dan mencalonkannya menjadi gubernur 
DKI Jakarta padahal masa tugasnya sebagai walikota Solo masih tiga tahun
 lagi, Fadli Zon harus menelan ludahnya sendiri. Mengapa Fadli Zon, 
seringkali tidak bisa jujur terhadap kata-kata yang diucapkannya? 
Sebagian dari kita tentu masih ingat ketika Prabowo mengatakan bahwa 
Fadli Zon sangat cocok untuk menjadi menteri pendidikan (Kompas, 12 Juli
 2013). Apa jadinya anak-anak kita nanti, jika menteri pendidikan-nya 
memiliki sifat dan watak seperti Fadli Zon? Saya membayangkan menteri 
pendidikan itu seharusnya orangnya santun, cerdas, dan memiliki jiwa 
pendidik dan integritas moral yang tinggi seperti Pak Arief Rachman atau
 Pak Anies Baswedan.
Pak Jokowi tidak meninggalkan Jakarta. Tapi ia akan membangun Jakarta 
bukan dari balai kota, tapi dari istana negara. Seperti yang pernah 
beliau contohkan, untuk mengatasi macet di Jakarta, yang perlu dibangun 
bukan hanya di Jakarta saja, tapi harus disambungkan dengan Depok, 
Bogor, Tangerang dan Bekasi. Gubernur Jakarta tidak bisa mengkoordinir 
itu semua, semua kepala daerah harus setuju dan menandatanganinya. 
Contoh kongkrit adalah otoritas transportasi Jabodetabek yang sudah 
hampir 1,5 tahun tapi tidak pernah selesai karena masalah wewenang dan 
koordinasi. Jika ia menjadi presiden maka segalanya akan jauh lebih 
mudah, karena semua kepala daerah berada di bawahnya.
Pada Pilkada kota Solo yang pertama Jokowi meraup 36,62% suara, dan 
didaulat menjadi walikota Solo selama lima tahun (2005 - 2010). Tahun 
2010, ia mencalonkan kembali, dan meraup persentase suara sebesar 
90,09%. Artinya Jokowi berhasil membuktikan kinerjanya di Solo, dan 
rakyat memilihnya kembali. Oleh karena itulah Fadli Zon dan partai 
Gerindra memboyong Jokowi ke Jakarta untuk dicalonkan menjadi Gubernur 
DKI walaupun masa baktinya masih tiga tahun lagi, karena urgensi Jakarta
 sebagai ibu kota lebih besar. Ketika itu, ia tidak pernah melabeli 
Jokowi dengan sebutan pemimpin ingkar janji.
Terakhir, saya ingin mengutip pesan Pak Anies Baswedan, “Kalau Anda 
ingin menjadi pemimpin, lakukan sesuatu bagi rakyat, lakukan kerja untuk
 masyarakat. Bukan semata-mata menggunakan dana untuk berkampanye dengan
 nilai yang fantastis. Dana yang sama bisa dilakukan untuk petani, 
nelayan, untuk pendidikan, daripada untuk beriklan selama 
bertahun-tahun. Kita membutuhkan orang yang bukan memburu kekuasaan. 
Berikan amanat itu justeru kepada orang yang tidak memburu amanat itu.”
Saya tidak punya afiliasi dengan partai politik manapun. Saya juga bukan
 bagian dari tim sukses manapun. Sejujurnya saya ingin bergabung dengan 
tim relawan Jokowi, namun kesibukan saya yang cukup padat dalam 2 – 3 
bulan ke depan membuat saya tidak bisa melakukannya. Namun demikian, 
mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa memberikan pencerahan bagi 
teman-teman yang masih galau dalam menentukan pilihannya.
Sebagian orang berkata percuma kita menulis, toh hasilnya tidak akan 
memiliki dampak apa-apa. Siapa sih yang akan baca tulisan kita, paling 
cuma segelintir orang dibanding julah pemilih yang hampir 185 juta 
orang. Walaupun prosentasenya hanya 1/1.000.000, namun saya tetap 
memilih untuk menulis. Karena walaupun amat sangat kecil, saya ingin 
ikut serta berkontribusi dalam membangun negeri ini. Saya menulis semua 
ini atas inisiatif dan kesadaran pribadi, tanpa ada insentif sepeser pun
 dari pihak manapun.
Bagi yang merasa tulisan ini membawa manfaat, silahkan disebarkan. Tidak
 perlu minta ijin kepada saya. Mudah-mudahan PEMILU 2014 berjalan lancar
 dan damai, dan kita dikaruniai oleh Allah SWT pemimpin yang bisa 
membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Amien.
Dari Bandung untuk Indonesia,
Maulana M. Syuhada
Pengunjung setia perpus ITB
Sumber: Kampanye Prabowo Subianto di Stadion GBK Senayan (sumber: detik.com - 23/3/2014)
 
Sumber: Jokowi meninjau perekembangan pembangunan Waduk Ria Rio (sumber: tempo.co - 26/9/2013)