Mengapa karyawan meningggalkan perusahaan?

Mengapa karyawan meningggalkan perusahaan (atau paling tidak sering
ngedumel)? Berikut ini petikan dari bukunya Haris Priyatna yang berjudul
Azim Premji, "Bill Gates" Muslim dari India (terbitan Mizania 2007).

Azim Premji adalah milyuner muslim dari India yang telah menyulap Wipro,
dari sebuah perusahaan minyak goreng menjadi konglomerasi perusahaan
dengan salah satunya adalah Wipro Technologies yang merupakan ikon
kebangkitan industri teknologi informasi di India. Dia urutan ke-21
orang terkaya di dunia versi Forbes 2007. Azim dikenal sebagai milyuner
yang bergaya hidup sederhana.

Berikut ini pandangan Premji tentang mengapa karyawan betah dan tidak
betah dengan perusahaan. Wipro sendiri memiliki tinkat turn-over
(kepindahan) karyawan yang sangat rendah, padahal gajinya tidak lebih
tinggi dibandingkan perusahaan sejenis seperti Infosys dan TCS.

Mengapa karyawan meningggalkan perusahaan?

Banyak perusahaan yang mengalami persoalan tingginya tingkat pergantian
karyawan. Betapa orang mudah keluar-masuk perusahaan itu. Orang
meninggalkan perusahaan untuk gaji yang lebih besar, karier yang lebih
menjanjikan, lingkungan kerja yang lebih nyaman, atau sekedar alasan
pribadi. Tulisan ini mencoba menjelaskan persoalan ini.

Belum lama ini, Sanjay, seorang teman lama yang merupakan desainer
software senior, mendapatkan tawaran dari sebuah perusahaan
internasional prestisius untuk bekerja di cabang operasinya di India
sebagai pengembang software. Dia tergetar oleh tawaran itu. Sanjay telah
mendengar banyak tentang CEO perusahaan ini, pria karismatik yang sering
dikutip di berita-berita bisnis karena sikap visionernya. Gajinya hebat.
Perusahaan itu memiliki kebijakan SDM ramah karyawan yang bagus, kantor
yang masih baru, dan teknologi mutakhir, bahkan sebuah kantin yang
menyediakan makanan lezat.

Sanjay segera menerima tawaran itu. Dua kali dia dikirim ke luar negeri
untuk pelatihan. "Saya sekarang menguasai pengetahuan yang paling baru,"
katanya tak lama setelah bergabung. "Ini betul-betul pekerjaan yang
hebat dengan teknologi mutakhir." Ternyata, kurang dari delapan bulan
setelah dia bergabung, Sanjay keluar dari pekerjaan itu. Dia tidak punya
tawaran lain di tangannya, tetapi dia mengatakan tidak bisa bekerja di
sana lagi. Beberapa orang lain di departemennya pun berhenti baru-baru
ini.

Sang CEO pusing terhadap tingginya tingkat pergantian karyawan. Dia
pusing akan uang yang dia habiskan dalam melatih mereka. Dia bingung
karena tidak tahu apa yang terjadi. Mengapa karyawan berbakat ini pergi
walaupun gajinya besar? Sanjay berhenti untuk satu alasan yang sama yang
mendorong banyak orang berbakat pergi. Jawabannya terletak pada salah
satu penelitian terbesar yang dilakukan oleh Gallup Organization.
Penelitian ini menyurvei lebih dari satu juta karyawan dan delapan puluh
ribu manajer, lalu dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul First Break
All the Rules.

Penemuannya adalah sebagai berikut:

Jika orang-orang yang bagus meninggalkan perusahaan, lihalah atasan
langsung mereka. Lebih dari alasan apapun, dia adalah alasan orang
bertahan dan berkembang dalam organisasi. Dan dia adalah alasan mengapa
mereka berhenti, membawa pengetahuan, pengalaman, dan relasi bersama
mereka. Biasanya langsung ke pesaing. "Orang meninggalkan manajer, bukan
perusahaan," tulis Marcus Buckingham dan Curt Hoffman penulis buku First
Break All the Rules.

"Begitu banyak uang yang telah dibuang untuk menjawab tantangan
mempertahankan orang yang bagus - dalam bentuk gaji yang lebih besar,
fasilitas dan pelatihan yang lebih baik. Namun, pada akhirnya, penyebab
kebanyakan orang keluar adalah manajer." Kalau Anda punya masalah
pergantian karyawan yang tinggi, lihatlah para manajer Anda terlebih
dahulu. Apakah mereka membuat orang-orang pergi? Dari satu sisi,
kebutuhan utama seorang karyawan tidak terlalu terkait dengan uang, dan
lebih terkait dengan bagaimana dia diperlakukan dan dihargai. Kebanyakan
hal ini bergantung langsung dengan manajer di atasnya.

Uniknya, bos yang buruk tampaknya selalu dialami oleh orang-orang yang
bagus. Sebuah survei majalah Fortune beberapa tahun lalu menemukan bahwa
hampir 75 persen karyawan telah menderita di tangan para atasan yang
sulit.

Dari semua penyebab stres di tempat kerja, bos yang buruk kemungkinan
yang paling parah. Hal ini langsung berdampak pada kesehatan emosional
dan produktivitas karyawan. Pakar SDM menyatakan bahwa dari semua bentuk
tekanan, karyawan menganggap penghinaan di depan umum adalah hal yang
paling tidak bisa diterima. Pada kesempatan pertama, seorang karyawan
mungkin tidak pergi, tetapi pikiran untuk melakukannya telah tertanam.
Pada saat yang kedua, pikiran itu diperkuat. Saat yang ketiga kalinya,
dia mulai mencari pekerjaan yang lain. Ketika orang tidak bisa membalas
kemarahan secara terbuka, mereka melakukannya dengan serangan pasif,
seperti : dengan membandel dan memperlambat kerja, dengan melakukan apa
yangdiperintahkan saja dan tidak memberi lebih, juga dengan tidak
menyampaikan informasi yang krusial kepada sang bos.

Seorang pakar manajemen mengatakan, "Jika Anda bekerja untuk atasan yang
tidak menyenangkan, Anda biasanya ingin membuat dia mendapat masalah.
Anda tidak mencurahkan hati dan jiwa di pekerjaan itu." Para manajer
bisa membuat karyawan stres dengan cara yang berbeda-beda : dengan
terlalu mengontrol, terlalu curiga, terlalu mencampuri, juga terlalu
mengecam. Mereka lupa bahwa para pekerja bukanlah aset tetap, mereka
adalah agen bebas. Jika hal ini berlangsung terlalu lama, seorang
karyawan akan berhenti - biasanya karena masalah yang tampak remeh.
Bukan pukulan ke-100 yang merobohkan seorang yang baik, melainkan 99
pukulan sebelumnya. Dan meskipun benar bahwa orang meninggalkan
pekerjaan karena berbagai alasan, untuk kesempatan yang lebih baik atau
alasan khusus, mereka yang keluar itu sebetulnya bisa saja bertahan,
kalau bukan karena satu orang yang mengatakan kepada mereka, seperti
yang dilakukan bos Sanjay: "Kamu tidak penting. Saya bisa mencari
puluhan orang seperti kamu."

Meskipun tampaknya mudah mencari karyawan, pertimbangkanlah untuk sesaat
biaya kehilangan seorang karyawan yang berbakat. Ada biaya untuk mencari
penggantinya. Biaya melatih penggantinya. Biaya karena tidak memiliki
seseorang untuk melakukan pekerjaan itu sementara waktu. Kehilangan
klien dan relasi yang telah dibina oleh orang tersebut. Kehilangan moril
sejawat kerjanya. Kehilangan rahasia perusahaan yang mungkin sekarang
dibocorkan oleh orang tersebut kepada perusahaan lain. Plus, tentu saja,
kehilangan reputasi perusahaan. Setiap orang yang meninggalkan sebuah
korporasi akan menjadi dutanya, entah tentang kebaikan atau keburukan.

...

Demikian pesan Azim Premji.

Bagaimana pendapat Anda (sebagai bawahan maupun atasan)?

No comments: